Jakarta (17/8). Usia Republik Indonesia menginjak 80 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan fase penting dalam sejarah bangsa ini. Usia delapan dekade bukan lagi masa muda, melainkan tanda kematangan sebuah bangsa yang seharusnya mampu menghadapi persoalan dengan lebih bijak, sekaligus memperkuat pencapaian yang telah dirintis.
“Negara ini dalam 20 tahun ke depan genap mencapai usia 100 tahun. Tidak banyak negara yang lahir pada abad 20, mencapai usia 100 tahun. Bahkan, beberapa di antara negara itu belum genap 70 tahun sudah bubar,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Ia menegaskan, rakyat Indonesia patut bersyukur atas kemerdekaan dan pencapaian bangsa Indonesia. Namun, perlu upaya yang lebih keras, agar Indonesia bisa eksis hingga 100 bahkan 200 tahun, “Para pendiri bangsa telah menetapkan idealisme terkait keberadaan negara Indonesia, dalam Pembukaan UUD 1945,” paparnya. Cita-cita pendirian bangsa itu, harus menjadi kompas perjalanan bangsa.
“Terutama mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai kesejahteraan umum. Dua hal ini harus terus diupayakan agar, kerekatan sosial rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke tetap erat. Kesenjangan harus kita minimalkan, agar bangsa Indonesia yang plural ini tetap satu,” tegas KH Chriswanto.
Senada dengan KH Chriswanto, Ketua DPP LDII Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri, Singgih Tri Sulistiyono, menegaskan kemerdekaan harus menjadi momentum evaluasi dan refleksi bersama. “Usia 80 tahun adalah usia yang matang. Seharusnya mampu menyelesaikan berbagai persoalan, sekaligus meningkatkan capaian menuju tujuan yang dicita-citakan,” ujarnya.
Meski begitu, Singgih yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Dipenogoro tersebut melihat perjalanan bangsa masih dihadapkan pada tantangan serius. Salah satunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Contoh nyata dari fenomena itu, menurutnya, bisa dilihat pada peristiwa yang terjadi belakangan ini di Pati, Jawa Tengah. Pada (13/8), ribuan warga berunjuk rasa mendesak bupati untuk mundur dari jabatannya
“Fenomena distrust ini nyata kita lihat, misalnya ketika masyarakat turun ke jalan menuntut kepala daerah mundur. Itu mencerminkan ada kekecewaan yang mendalam. Padahal negara adalah milik kita bersama, seharusnya ia hadir memberikan perlindungan, keadilan, kesejahteraan, dan rasa aman bagi seluruh rakyat,” jelasnya.
Dalam pandangannya, keguncangan sosial semacam ini seharusnya menjadi alarm bagi bangsa Indonesia. “Kita memiliki konsensus luhur yang diwariskan para pendiri bangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Inilah pilar yang menyatukan kita. Kalau konsensus itu ditinggalkan, maka yang muncul adalah fragmentasi, konflik, bahkan potensi disintegrasi,” tegasnya.
Karena itu, ia menekankan perlunya seluruh elemen bangsa kembali menghidupkan nilai-nilai kebersamaan, musyawarah, dan gotong royong yang menjadi karakter bangsa Indonesia. “Kemerdekaan bukan sekadar seremonial peringatan tiap tahun. Namun merupakan ruang untuk mengingatkan kita bahwa bernegara harus berorientasi pada kepentingan rakyat. Negara hadir untuk melindungi rakyat,” imbuhnya.
Menutup pesannya, ia mengajak agar usia 80 tahun kemerdekaan dijadikan momentum memperkuat persatuan nasional. “Kalau konsensus bangsa kita rawat, kalau institusi negara kita perbaiki, maka Indonesia bisa melangkah lebih mantap menuju satu abad kemerdekaan, dengan bangsa yang lebih dewasa, lebih adil, dan lebih sejahtera,” pungkasnya.
Setiap saat LDII selalu ada inovasi dalam pengembangan di organisasi dan menciptakan karakter luhur dan semakin diterima di masyarakat… pendidikan yang berkelanjutan dalam pengembangan SDM.. barokallohulakum….dan selalu semangat..God bless..
Semangat mengisi kemerdekaan dengan tetap menjaga Persatuan Bangsa, Dirgahayu HUT ke 80 Kemerdekaan Republik Indonesia