Lembaga Dakwah Islam Indonesia
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025
No Result
View All Result
Lembaga Dakwah Islam Indonesia
No Result
View All Result
Home Dari Kami Nasehat

T a k j u b

2025/08/26
in Nasehat
0
Ilustrasi: LINES.

Ilustrasi: LINES.

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan

Sambil melepas penat, beberapa waktu lalu, selepas shalat Jumat, saya menyempatkan mendengarkan sebuah taushiah dari Khathib sekaligus Imam Sholat di sebuah masjid di pinggiran kompleks. Topiknya menyentuh dan menggugah kesadaran, terkait keimanan. Namun, setelah mendengarkan cuplikan dalil dan atsar yang disampaikan, muncul sekelebat kegelisahan dalam batin saya. Sebuah kegundahan yang mungkin akan dirasakan pula oleh siapa saja yang mencoba mencerna atsar tersebut secara jujur dan dalam. Dalil ini sudah beberapa kali saya dengar dari beberapa sumber dan kesempatan yang berbeda. Entah kenapa, kali ini ada nuansa yang lain dari biasanya. Berikut dalilnya.

عن عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عن أَبِيهِ، عن جَدِّهِ، قَالَ: قالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:«أَيُّ الخَلْقِ أَعْجَبُ إِلَيْكُمْ إِيمَانًا؟» قالوا: المَلَائِكَةُ.
قالَ: «وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ؟!» قالوا: النَّبِيُّونَ. قالَ: «وَمَا لَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ وَالوَحْيُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ؟!» قالوا: فَنَحْنُ؟ قالَ: «وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ؟!» ثم قالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:«إِنَّ أَعْجَبَ الخَلْقِ إِلَيَّ إِيمَانًا قَوْمٌ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ، يَجِدُونَ صُحُفًا فِيهَا كِتَابُ اللهِ، فَيُؤْمِنُونَ بِمَا فِيهَا.»

Dari riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Makhluk manakah yang paling mengherankan keimanannya menurut kalian?” Para sahabat menjawab: “Para malaikat!” Rasulullah ﷺ bersabda: “Bagaimana tidak mereka beriman, sedangkan mereka berada di sisi Tuhannya?” Para sahabat berkata lagi: ” Para nabi!” Rasulullah ﷺ menjawab: “Bagaimana tidak mereka beriman, sedangkan wahyu turun atas mereka?” Mereka berkata: “Kalau begitu kami, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bagaimana tidak kalian beriman, aku ada di tengah-tengah kalian!” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah, makhluk yang paling mengherankan keimanannya bagiku adalah suatu kaum yang datang setelah kalian. Mereka tidak pernah bertemu denganku, namun mereka membaca lembaran-lembaran (Al-Qur’an) lalu mereka beriman terhadap apa yang ada di dalamnya.” (HR. Hasan bin Arafah, dinukil sebagian oleh Imam Ibnul Qayyim dalam al-Manar al-Munif, hlm. 97)

Sepintas, hadits ini tampak menyemangati kita—umat akhir zaman—bahwa keimanan kita yang lahir tanpa pernah melihat Rasulullah ﷺ tetap diakui dan bahkan membuat beliau “takjub”. Dalam kitab “al-Manār al-Munīf” (hal. 97), beliau mencantumkan hadits ini untuk menunjukkan: “Bahwa ada derajat keimanan yang sangat tinggi, yaitu mereka yang beriman hanya berdasarkan berita—tanpa melihat atau berjumpa Nabi, tanpa mukjizat nyata, hanya melalui wahyu yang tersisa (al-Qur’an).” Ibnul Qayyim sangat memuliakan derajat orang-orang yang beriman setelah wafatnya Nabi ﷺ, dan menyebut keimanan mereka sebagai bentuk keikhlasan dan kepatuhan tertinggi karena mereka tidak melihat, tidak menyentuh, tidak mendengar langsung, tapi tetap yakin sepenuh hati.

Dalam Syu‘ab al-īmān, Imam al-Baihaqi menyatakan bahwa keimanan orang yang datang setelah generasi sahabat, tapi tetap berpegang pada wahyu, merupakan bukti kuat akan tsiqah (kepercayaan) dan kecintaan sejati terhadap Islam. Keimanan seperti ini tidak dibangun atas pengalaman empiris, tetapi atas kerendahan hati di hadapan keagungan Ilahi.

Dalam kitabnya Fath al-Bāri li Ibn Rajab, beliau menafsirkan hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan orang-orang asing (al-ghurabā’) yang memegang Islam di masa rusaknya umat. Ibn Rajab menyebutkan: “Ada kaum yang tidak menjumpai Nabi ﷺ, tapi seolah mereka hidup bersama beliau karena kedalaman cinta dan komitmen mereka kepada sunnah dan Al-Qur’an.” Ini menunjukkan bahwa keimanan mereka tidak kalah bahkan bisa lebih ‘ajaib’ dari generasi terdahulu, karena iman mereka lahir dari ghayb (ketidakhadiran fisik) tapi tetap kokoh.

Mendengar penjelasan seperti ini dan memandang dari perspektif yang lain, sangat wajar euforia pun muncul. Betapa tidak? Kita, umat yang datang berabad-abad setelah kenabian, disebut langsung oleh Rasulullah ﷺ sebagai kaum yang mengherankan keimanannya. Bangga? Tentu. Senang? Sudah pasti. Gembira? Mau apalagi. Tapi… tunggu dulu.

Kegundahan saya perlahan menjelma menjadi kesadaran setelah merenungi satu kata kunci yang mungkin telah lama terabaikan: a’jabu —yang berarti “paling mengherankan atau menakjubkan”, bukan “paling hebat” atau “paling tinggi derajatnya.” Keheranan bukanlah klaim superioritas. Keheranan bukanlah validasi keimanan terbaik. Ia hanya ungkapan kekagetan, sebentuk kekaguman, mungkin bahkan keheranan bercampur harapan—sebagaimana kita heran terhadap seseorang yang bisa tetap teguh di tengah badai zaman.

Jika kita memaknai sabda itu dengan euforia “keimanan hebat umat akhir zaman”, maka bisa jadi kita telah terseret arus dalam tafsir yang melampaui batas. Padahal, Rasulullah ﷺ sudah jauh-jauh hari mengingatkan dalam hadits-hadits shahih berikut ini.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ»

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai satu mud (takaran) atau setengah mud yang mereka infakkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi berkata: “Hadits ini menunjukkan tingginya derajat sahabat Nabi, dan bahwa amal seseorang dari selain mereka, meskipun besar secara kuantitas, tidak dapat menandingi amal sedikit yang dilakukan sahabat, karena keutamaan waktu, niat, dan kedekatan mereka dengan Rasulullah ﷺ.”

Dalam Fath al-Bāri, Imam Ibnu Hajar menafsirkan: “Rasulullah ﷺ ingin menegaskan bahwa kedudukan sahabat tidak bisa disamai oleh siapa pun setelah mereka, meskipun amal orang setelah mereka tampak lebih besar. Hal ini karena kemuliaan amal sahabat tidak terletak pada besar kecilnya harta, tetapi pada kondisi hati, kesungguhan, dan pengorbanan mereka di awal dakwah. Satu mud mereka bisa bernilai lebih dari gunung emas, karena dikerjakan dengan keikhlasan luar biasa, dalam kondisi penuh tekanan dan cobaan berat.”

Dan dalam riwayat lain dijelaskan;

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:«خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.»

Dari Imron bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda; ” Sebaik-baik manusia adalah generasiku, lalu yang setelahnya, lalu yang setelahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Bahkan dalam Kalam indah, firman Allah SWT, pun ditegaskan tentang perbedaan derajat di antara orang-orang beriman:

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempunyai langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 10)

Jelaslah bahwa generasi awal Islam, yang dikenal sebagai sahabat yang mendampingi Rasulullah ﷺ, memiliki keutamaan yang tidak bisa ditandingi oleh generasi setelahnya. Generasi Sahabat adalah yang terbaik, disusul kemudian generasi tabi’in dan berikutnya generasi tabi’it-tabi’in. Itu tiga generasi terbaik dalam strata islam. Mengacu pada ayat di atas, bahkan era sahabat sebelum Fathu Mekah dan setelah Fathu Mekah bedanya sungguh jauh. Keimanan mereka diuji dalam gelap gulita, bukan hanya di atas lembaran mushaf. Mereka bertaruh nyawa, harta, dan segalanya—sementara kita, bahkan sekadar istiqamah dalam ibadah pun tak selalu mudah.

Maka, menjadi benar adanya: takjub bukan berarti hebat. Nabi ﷺ merasa takjub dan heran terhadap keimanan umat akhir zaman bukan karena keimanannya paling mulia, tapi karena di tengah terpaan fitnah, jarak zaman, dan ketiadaan wahyu, masih ada yang bersedia percaya dan patuh hanya karena menemukan kitab dan membaca mushaf. Laksana “kuda hitam” dalam turnamen sepak bola: mengejutkan, tapi belum tentu juara.

Dengan kesadaran ini, kita tidak perlu rendah diri, tapi juga tak layak besar kepala. Semoga kita termasuk dari kaum yang membuat Rasulullah ﷺ “takjub” dengan penuh harap dan bangga, bukan “takjub” karena kita menyimpang dari warisan salaf. Mari benahi keimanan kita, bukan dengan euforia, tapi dengan adab dan kehati-hatian dalam menempatkan diri. Karena iman bukan tentang siapa yang terlihat paling semangat, tetapi siapa yang tetap bertahan dengan jujur dan lurus hingga akhir hayat.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

DPP LDII

Jl. Tentara Pelajar No. 28 Patal Senayan 12210 - Jakarta Selatan.
Telepon: 0811-8604544

SEKRETARIAT
sekretariat[at]ldii.or.id
KIRIM BERITA
berita[at]ldii.or.id

BERITA TERKINI

  • Ribuan Santri Ponpes Wali Barokah Kediri Ikuti Upacara Bendera HUT RI August 26, 2025
  • T a k j u b August 26, 2025
  • Ponpes Gadingmangu dan UGM Jalin MoU Perkuat SDM dalam Pengelolaan Lingkungan Wujudkan EcoPesantren August 25, 2025

NAVIGASI

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

KATEGORI

Kirim Berita via Telegram

klik tautan berikut:
https://t.me/ldiibot

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.

No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.