Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Ada satu medan pertempuran yang sering luput kita sadari: pertempuran melawan keterkondisian diri. Ia bukan duel dengan manusia, bukan pula pergumulan dengan alam, melainkan pergulatan melawan batas-batas yang diam-diam kita warisi sejak pertama kali lahir dan membuka mata. Riuh kota atau senyap desa, hembusan asin pantai atau dingin menggigit puncak gunung, didikan keluarga, rayuan pergaulan, bisik nafsu—semuanya menganyam jaring halus yang menutup pandangan kita dari langit kemungkinan keterbukaan. Padahal, hanya jiwa yang berani menanggalkan jaring inilah yang dapat menatap masa depan dengan mata yang cerah dan merdeka.
Saya sendiri, misalnya, terlahir dan menghabiskan delapan belas tahun pertama hidup di pegunungan, tak pernah membayangkan betapa luasnya dunia di luar sana. Hingga suatu hari, untuk pertama kalinya saya berdiri mematung di tepi sebuah pantai di Pantai Selatan Jogja yang istimewa. Di hadapan samudra yang membentang tanpa ujung, saya terdiam. Tertegun. Terbius. Terhipnotis. Di tengah deru ombak, alun gelombang dan angin laut, saya tersadar penuh: ternyata semua air—dari hujan di lereng gunung, rimba gelap hutan, sungai-sungai yang meliuk di lembah, hingga got-got kota—akhirnya bermuara ke laut. Dan laut menampungnya tanpa pernah penuh, tanpa mengeluh, tanpa bisa memilih dan tidak pernah menolak. Ia menerima dengan tangan terbuka, berwibawa, penuh suka, sebab ia memilih berada di tempat yang paling rendah.
Dari situlah saya merasakan isyarat yang halus, cahaya pencerahan yang turun menyambut: kemuliaan sejati justru lahir dari keberanian untuk merendah. Samudra tidak menuntut pujian, tidak meminta balasan, tidak menolak peran, namun semua air akhirnya berebut berlari kepadanya. Tanpa disuruh. Seolah sudah tahu alamatnya. Bukankah ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Al-Furqan:63:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih, mereka itu adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka dengan kata-kata hinaan, mereka membalasnya dengan mengucapkan ‘salam’. ”
Begitulah hidup bertutur: kemuliaan kerap lahir dari keberanian untuk merendah. Di usia kepala lima, mungkin saya tak punya kekayaan atau jabatan yang membuat orang menoleh, melirik atau berdecak kagum. Sudah sering, ketika melihat-lihat show room mobil pun, tak didekati oleh para salesnya, apalagi ditanya. Banyak yang lebih tinggi, hebat dan sukses dalam tangga duniawi. Begitu pula dalam urusan samawi, tak terhitung yang lebih istiqomah, yang lebih teguh beribadah dibanding saya. Tampang bengal, penampilan kampungan, masih bersemayam. Rasanya belum pantas menyandang kealiman. Namun, bila ukurannya adalah rasa syukur, insya Allah, Allah tahu di mana saya berada. Berdiri dengan tegak menghamba. Dan saya yakin, anugerah yang saya rasakan ini bukan karena kehebatan pribadi, melainkan karena belajar menyelami hidup dengan rendah hati, mengalir, bukan dengan alun kesombongan dan gelombang keangkuhan.
Sebagian orang menganggap rendah hati itu memang seperti keset: diinjak, diabaikan, tak sedap dipandang. Dan lain-lain yang tidak keren. Namun, anehnya, orang-orang yang tetap memilih kerendahan hati justru sering melangkah lebih jauh. Seorang sahabat pernah mengirimkan kutipan indah salah satu Pujangga India, Rabindranath Tagore yang meneguhkan hati saya: “Kita bertemu Yang Maha Tinggi, ketika kita rendah hati.” Jalaluddin Rumi menambahkan dalam Masnawi -nya: “Rendahkanlah dirimu, seperti lembah yang menampung air, maka rahmat akan mengalir kepadamu.”
Jauh sebelum kata-kata itu lahir, Rasulullah ﷺ telah mewasiatkan betapa mulianya sikap merendah.
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ خَطِيبًا، فَقَالَ:”إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ، وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.”
Dari Iyād bin Himār radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah berdiri di hadapan kami saat berdakwah, lalu bersabda: “Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendahkan diri, agar tak seorang pun berbangga di atas yang lain, dan agar tak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR. Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ:«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ»
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis: ” Hendaklah engkau menundukkan hati sebagaimana bumi yang diinjak semua makhluk; dari tanah yang rendah itulah tumbuh pohon yang tinggi.” Sementara filsuf Tiongkok, Lao Tzu , berkata: “Laut adalah raja dari semua sungai, karena ia menempatkan dirinya di bawah mereka.” Lantas, adakah contoh kerendahan yang lebih mulia daripada rendahnya samudra, yang karena posisinya justru menampung segala aliran kehidupan?
Bagi mereka yang telah merasakan manisnya hidup, asinnya garam kehidupan, melalui lika-laku rendah hati, tak sulit untuk bersepakat bahwa merendah itu indah. Bagi yang belum, kalimat ini mungkin terdengar asing atau menimbulkan keberatan. Bahkan ketidaksetujuan sekalian. Namun, izinkanlah saya memberi saran sederhana: pergilah sesekali ke pantai. Bukan hanya untuk healing, tetapi biarkan birunya samudra meneduhkan hati. Dengarkan debur ombak yang tak lelah mengajarkan kesabaran. Hembusan angin yang menitahkan kedermawanan. Pandanglah cakrawala yang tak berbatas, di mana kaki langit berpelukan dengan laut di ujung tak terhingga. Atau gelombang tinggi nan angkuh yang akhirnya memeluk pantai dengan damai. Semua mengingatkan bahwa ketinggian sejati sering justru lahir dari kerendahan yang tulus dan lurus. Seperti samudra yang rendah, namun menampung segalanya. Demikian juga hati yang merendah, akan ditinggikan oleh Allah Yang Maha Kuasa atas Segala-galanya.
Masyaallah…AJKH Mas Kus…Sehat dan barokah selalu ya mas