Bandung (17/11). Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menyatakan sebagai ormas Islam yang lahir pasca-Orde Baru, LDII telah berasas Pancasila, di samping Islam itu sendiri. Hal tersebut ditegaskan KH Chriswanto di hadapan puluhan wartawan dalam acara media gathering, dalam rangkaian Musyawarah Wilayah (Muswil) IX LDII Jawa Barat (Jabar) pada Jumat (14/11/2025).
“Itulah jati diri kami. Dalam akta notaris pendirian Lembaga Karyawan Dakwah Islam (LEMKARI) pada 1972. Atas arahan Menteri Dalam Negeri Rudini, beliau mengusulkan nama kami diganti dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia atau LDII, agar tidak sama dengan Lembaga Karate-Do Indonesia, yang juga disingkat Lemkari,” urai KH Chriswanto.
Islam dalam Pancasila itu, bagi LDII selaras dan senafas. Menurut KH Chriswanto, keduanya saling memperkuat. Sebagai organisasi yang lahir, pascabangkitnya Orde Baru, LDII telah memiliki peta jalan dari ormas Islam pendahulunya yang telah berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Sebagai ormas dakwah, kami tumbuh dalam tradisi keislaman Indonesia, sejajar dengan organisasi besar lainnya seperti NU dan Muhammadiyah, dan Persis. Sejak 1972 kami sudah mengusung Pancasila sebagai dasar organisasi, karena kelahiran LDII terjadi setelah Indonesia merdeka,” ungkapnya.
KH Chriswanto menguraikan metode pengajian, LDII memiliki kedekatan dengan tradisi NU. Model sorogan, di mana guru dan murid sama-sama memegang kitab lalu mengkaji isi kitab secara langsung. Metode sorogan juga menjadi tradisi pengajian di LDII, “Bedanya, kalau di NU biasanya dilakukan di pondok pesantren, kalau kami melakukannya di seluruh majelis taklim yang dinaungi pimpinan anak cabang LDII. Cara mengajinya sama, semuanya memegang kitab,” jelasnya.
Sementara dalam hal pengelolaan lembaga pendidikan, LDII lebih memiliki kemiripan dengan Muhammadiyah. Seluruh sekolah, pesantren, maupun satuan pendidikan lain berada di bawah yayasan dan organisasi, bukan milik pribadi perorangan. Dengan sistem ini, LDII memastikan keberlangsungan dan standarisasi kualitas pendidikan secara nasional.
“Dalam manajemen pendidikan, kami mirip Muhammadiyah. Kalau di NU biasanya pondok pesantren milik kiai, sedangkan Muhammadiyah mengelola sekolah dan pesantren melalui yayasan. Di LDII pun demikian, seluruh satuan pendidikan, baik sekolah maupun pondok pesantren, adalah milik yayasan dan organisasi,” terangnya.
Bagaimana dengan mahzab? Sebagaimana ormas-ormas Islam di Indonesia, LDII juga bermahzab namun tidak terfokus pada satu imam mahzab, “Dari imam empat mahzab tersebut, selalu kami pilih yang paling mendekati dengan hadits Rasulullah SAW. Sehingga kami punya acuan yang kuat, bagaimana sunah atau ibadah yang Rasulullah lakukan,” papar KH Chriswanto.
KH Chriswanto menegaskan bahwa LDII hadir hampir di seluruh Indonesia dan bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar agama. Di level daerah, setiap program diselaraskan dengan kebutuhan wilayah, termasuk di Jawa Barat yang memiliki dinamika pembangunan cukup tinggi.
“Bagi kami sebagai ormas dan individu, memiliki budi pekerti luhur atau akhlakul karimah belum cukup. Untuk itu, kami juga harus memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Sebagaimana sabda Rasulullah: Khoirunnas anfauhum linnas, sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia,” imbuh, terkait program kerja LDII di berbagai wilayah termasuk Jabar.
Ia pun mempersilakan masyarakat mengaji di masjid-masjid LDII, yang tersebar di di 37 provinsi, “Kami hadir di mana-mana. Programnya bisa disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan daerah masing-masing,” tutupnya.

