Jakarta (2/8). Presiden Prabowo Subianto menegaskan, swasembada pangan, termasuk daging dan susu merupakan program prioritas utama dalam pemerintahannya. Menurut Dosen Politeknik Negeri Tanah Laut (Politala), yang juga Ketua DPD LDII Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Anton Kuswoyo, menjelaskan swasembada daging dan susu merupakan visi yang sangat strategis, namun kesuksesannya membutuhkan kerjasama banyak pihak.
”Kesuksesan swasembada daging dan susu sangat bergantung pada kemampuan kita menyelesaikan berbagai tantangan seperti pemenuhan pakan ternak yang berkualitas, peningkatan produktivitas ternak, akses pembiayaan, dan keberlanjutan peternakan rakyat. Dengan perencanaan yang terintegrasi dan dukungan teknologi, target ini bisa realistis,” ungkapnya.
Anton yang sedang menyelesaikan pendidikan S3 Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan di Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menjelaskan, kualitas pakan ternak menjadi salah satu faktor kunci karena dapat mempengaruhi kualitas ternak itu sendiri. Menurutnya sekitar 60–70 persen dari total biaya produksi ternak berasal dari pakan.
”Ketersediaan pakan berkualitas, terjangkau, dan berkelanjutan, terutama hijauan dan konsentrat lokal dapat memperbesar kesuksesan swasembada ini. Tapi sayangnya, saat ini ketersediaan pakan ternak di Indonesia masih belum merata, terutama pada musim kemarau,” jelas Anton.
Ia menceritakan, peternak kecil seringkali mengalami kekurangan hijauan, sedangkan peternak besar menghadapi tantangan biaya konsentrat yang mahal. Ia menjelaskan untuk mengatasi tantangan tersebut perlu ada upaya budidaya hijauan sebagai pakan ternak yang memiliki nutrisi tinggi. Indigofera zollingeriana, dapat menjadi solusi karena memiliki kandungan protein 27-32 persen. Hijauan jenis ini juga terbukti meningkatkan produksi susu dan daging baik hewan ternak kambing maupun sapi.
“Selain itu, tantangan besar lainnya adalah keterbatasan lahan untuk budidaya pakan hijauan, ketergantungan pada pakan jadi atau konsentrat impor, kurangnya akses terhadap teknologi pengawetan pakan/silase, hay, dan fluktuasi harga pakan. Serta kurangnya pengetahuan manajemen nutrisi ternak,” terangnya.
Ia menjelaskan perlunya inovasi berbasis hijauan bernutrisi tinggi seperti sorgum dan indogofera untuk meningkatkan kualitas pakan ternak. ”Sorgum memiliki sumber energi tinggi dan indogofera yang menjadi sumber protein tinggi,” ujarnya.
Anton yang juga menjadi peneliti budidaya sorgum dan indigofera di lahan pasca tambang batubara tersebut menilai keduanya sangat cocok dikembangkan di Indonesia karena bisa dibudidayakan di lahan tandus dan lahan bekas tambang.

”Upaya pengurangan ketergantungan terhadap pakan konsentrat dapat dilakukan dengan pemanfatan konsentrat lokal seperti bungkil kelapa sawit yang banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera. Penambahan probiotik dan enzim pada pakan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kecernaan pakan,” terangnya.
Ia menerangkan pemilihan pakan ternak harus mengandung energi tinggi dan protein tinggi, serta serat dan mineral yang cukup, maka hewan pun akan tumbuh dengan sempurna. Hasilnya produksi daging dan susu pun optimal. Ia menegaskan, secara umum pakan berpengaruh pada laju pertumbuhan, produksi dan kualitas susu, dan kualitas karkas.
”Peternak yang mengolah pakannya sendiri cenderung memiliki margin keuntungan lebih tinggi dibanding yang bergantung pada pakan komersial. Manajemen pakan yang baik, termasuk penggunaan bahan lokal, strategi pemberian pakan atau feeding strategy dan pengurangan limbah, dapat menurunkan biaya produksi hingga 20–30 persen,” ujarnya.
Anton menjelaskan, pemerintah perlu mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menyukseskan program ini. Diantaranya perlu adanya subsidi pakan hijauan dan bahan baku lokal, pengembangan sentra hijauan pakan ternak (HPT) serta pemberdayaan koperasi pakan skala desa. Selain itu pendampingan teknis oleh penyuluh peternakan dan nutrisionis, dan infrastruktur penyimpanan serta distribusi pakan nasional juga diperlukan.
“Saya berharap industri pakan nasional semakin berbasis sumber daya lokal dan teknologi, dengan orientasi keberlanjutan. Peternakan rakyat harus menjadi sentral produksi, dengan dukungan riset dan akses terhadap pasar, modal, dan input produksi,” jelasnya.
Anton juga menyarankan untuk terus melakukan riset dan inovasi terutama dalam pemanfaatan pakan lokal dan rekayasa genetik ternak. Ada sinergi antara akademisi, pemerintah, dan pelaku usaha dapat membuat Indonesia menjadi pusat inovasi pakan tropis dan peternakan berkelanjutan di Asia Tenggara. (Nabil)