Lembaga Dakwah Islam Indonesia
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025
No Result
View All Result
Lembaga Dakwah Islam Indonesia
No Result
View All Result
Home Dari Kami Nasehat

Mendengar Desah yang Tak Terdengar

2025/12/22
in Nasehat
0
Ilustrasi: AI-Generated, LINES.

Ilustrasi: AI-Generated, LINES.

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan

Ada ayat dalam Al-Qur’an yang turun bukan karena perang, bukan karena geopolitik, bukan karena konflik kabilah, melainkan karena desah seorang perempuan yang nyaris pecah suaranya oleh rasa tidak berdaya. Sebuah ayat yang lahir dari suara rapuh tetapi berani; suara yang mungkin tak terdengar oleh manusia, tetapi didengar oleh Allah dengan kedekatan yang tak terkatakan. Itu adalah Al-Mujādilah ayat 1, firman yang turun dari langit untuk membela seorang perempuan—dan sekaligus membela seluruh manusia yang pernah merasa kehilangan daya dalam rumah tangganya, dalam hidupnya, dalam kemanusiaannya.

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِۖ وَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ

“Sungguh, Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada engkau (wahai Nabi) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan kalian berdua. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Al-Mujādilah: 1)

Beginilah kisah yang dituturkan para ahli sirah: seorang perempuan bernama Khawlah binti Tsa‘labah, menikah dengan Aus bin Ash-Shamit. Suatu hari, karena marah, Aus mengucapkan kalimat zhihār: “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.” Di zaman jahiliyah, kalimat itu bukan sekadar umpatan. Ia adalah vonis sosial, sebuah talak keji yang memutuskan hubungan tanpa ruang kembali, tetapi juga tanpa memberikan hak istri untuk pergi. Perempuan yang terkena zhihār tidak menjadi istri, namun juga tidak merdeka. Ia digantung di ruang kehampaan.

Khawlah—sebagaimana diri kita ketika tersudut oleh keadaan—mendatangi Nabi dengan tubuh gemetar. Bukan karena takut pada Rasulullah, tetapi takut pada apa yang akan terjadi pada kehidupannya. Ia membawa suara perempuan yang tercekik oleh budaya, sekaligus membawa ketidakseimbangan batin yang telah berlangsung bertahun-tahun. Ia berkata, dengan suara yang amat lirih, “Wahai Rasulullah, suamiku telah memakan masa mudaku. Aku melahirkan anak-anaknya. Kini ketika tulangku melemah, ia jatuhkan zhihār kepadaku.”
Rasulullah—dengan keluasan rahmatnya—menjawab sesuai hukum yang beliau ketahui saat itu, “Engkau telah haram baginya.” Seketika air mata Khawlah deras seperti sungai yang meluap. Ia berbisik, “Namun aku mengadu kepada Allah…” Pada titik ini, sejarah berhenti sejenak. Dan langit mulai berbicara.

Suara yang Dikira Tak Sampai ke Langit

Para sahabat menyebut bahwa Khawlah berbicara sangat lirih, hampir seperti orang yang menahan tangis sambil berusaha tetap sopan. Saudah binti Zam‘ah—istri Nabi—yang berada di balik tirai berkata: “Aku tidak mendengar satu pun kalimat Khawlah, namun Allah mendengarnya dari atas langit ketujuh.” Di sinilah rahasia langit pertama ayat ini: Allah tidak menilai besar kecilnya suara, tetapi ketulusan dan keterlukaan hatinya.

Dalam kehidupan batin kita, sering ada doa yang tidak mampu kita ucapkan terang-terangan. Ada luka yang hanya bisa digumamkan dalam malam. Ada kesedihan yang tidak berani kita bagikan, bahkan kepada jiwa kita sendiri. Tetapi ayat ini datang membawa pesan: “Apa pun yang tak mampu engkau suarakan, Aku tetap mendengarnya.” Dalam tafsir para arif – bijaksana, ayat ini menunjukkan quwwatul-sam‘—keperkasaan pendengaran Ilahi, bukan hanya terhadap kata-kata, tapi terhadap getaran batin, niat, dan isyarat kesedihan. Langit turun karena satu perempuan menangis. Betapa dekatnya Tuhan bagi hati yang patah, yang teraniaya.

Ketika Syariat Turun untuk Mengangkat Martabat Perempuan

Zhihār adalah bentuk penindasan domestik yang halus tapi menyakitkan. Namun Allah tidak hanya mendengarkan, Dia mengubah struktur sosial dengan wahyu. Turunlah ayat-ayat berikutnya yang memerintahkan suami yang men-zhihār istrinya untuk: Memerdekakan budak, jika tidak mampu, puasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin.

Lihatlah, Allah menjadikan kezaliman itu sebuah beban tebusan. Seolah-olah Allah berkata: “Kedzaliman bukan sekadar kata-kata. Ia harus ditebus dengan perjuangan, tindakan nyata.” Dalam kaca mata yang lebih dalam, tebusan itu adalah penyembuhan bagi jiwa pelaku, bukan sekadar hukuman. Ia memaksa manusia kembali menghormati pasangan, keluarga, dan kemanusiaan. Di titik ini, ayat 1 menjadi pintu menuju transformasi spiritual dalam rumah tangga—bahwa relasi tidak boleh didasarkan pada dominasi, tetapi pada rahmah dan kesetaraan.

Pertemuan Dua Rintihan: Keluh Istri dan Keluh Nabi

Kalimat terakhir ayat 1 adalah: “Dan Allah mendengar percakapan kalian berdua…” Kata tahāwurakumā menunjukkan percakapan yang panjang, melelahkan, dan mengandung tekanan emosional. Para mufassir mengatakan: Khawlah mengadu karena kesakitan batin dan Nabi mengeluh dalam hati karena sulit memberi jawaban tanpa wahyu. Artinya, bahkan seorang Nabi pun menunggu petunjuk ketika menghadapi derita seorang perempuan. Secara tematik, ayat ini mengajarkan bahwa para kekasih Allah pun berada dalam perjalanan, dalam kebingungan, dalam munajat. Khawlah mengadu dari bumi. Muhammad mengadu dari jiwanya. Wahyu turun dari langit, menenteramkan keduanya. Inilah titik pertemuan tiga dimensi: perempuan yang terluka, Nabi yang berhati lembut, dan Tuhan yang Maha Mendengar.

Penyingkapan: Setiap Manusia adalah Khawlah

Jika kita tarik ke kehidupan kontemplatif, ayat ini tidak sekadar membela Khawlah. Ia membela seluruh manusia yang terjepit oleh keadaan yang terasa tak adil: suami yang tidak didengar istrinya, istri yang tidak dihargai suaminya, anak yang tak didengarkan orang tuanya, hamba yang memikul tekanan hidup, diri kita sendiri yang kadang bicara dalam hati tapi tak ada yang mencatat.

Setiap kita, di suatu fase hidup, pernah seperti Khawlah: mengetuk pintu langit dengan suara yang nyaris hancur. Dan ayat ini memberi kesaksian: Tuhan bukan hanya mendengar doa para nabi, tetapi juga keluhan seorang perempuan di sudut ruangan. Tuhan bukan hanya mendengar zikir para arif, tetapi juga tangis orang yang bingung mengapa hidup terasa berat. Tuhan bukan hanya mendengar lantunan yang fasih, tetapi juga bisikan terbata yang keluar dari dada sempit dan menderita.

Kesunyian yang Didengar

Pelajaran tertinggi dari ayat ini adalah: Allah mengajarkan kepada kita adab berbicara kepada-Nya. Khawlah tidak berteriak. Ia tidak menuntut dengan kebencian. Ia berbicara dengan kepasrahan, tetapi kepasrahan yang punya nyali. Dalam tasawuf, ini disebut: “asy-syakwā ilā Allāh”—mengadu kepada Allah, bukan tentang Allah.

Pengaduan yang demikian justru satu bentuk ubudiyyah, sebab ia menunjukkan: kita mengakui kelemahan diri, kita yakin bahwa Allah peduli, kita percaya bahwa tak ada pintu selain pintu-Nya. Al-Qurthubi mencatat kalimat Khawlah yang paling halus: “Aku mengadu kepada Allah. Dia yang mendengarkan keluhanku, dan kepada-Nya aku menautkan harapanku.” Ucapan ini adalah inti tasawuf: bergantung sepenuhnya pada Allah ketika semua tali terputus.

Ketika Wahyu Memihak yang Lemah

Setiap ayat yang turun untuk membela kaum tertindas memiliki getaran ruhani yang kuat. Tetapi ayat ini memiliki pesona lain: Ia turun bukan untuk membela bangsa, bukan untuk membela umat, tetapi untuk membela seorang perempuan, sendirian. Maka para sufi membaca ayat ini sebagai: Isyarat bahwa Allah jauh lebih dekat kepada yang rapuh dibanding yang kuat. Dekat kepada yang menangis dibanding yang tersenyum.
Dekat kepada yang tersudut dibanding yang berkuasa. Jika ada satu ayat yang mengatakan, “Engkau tidak sendirian dalam derita,” maka ayat inilah jawabnya.

Penutup: Tuhan yang Memihak Air Mata

Esai ini lahir dari sebuah kalimat suci yang turun melalui langit ketujuh untuk menyapa ruang kecil dalam hati seorang perempuan. Namun lebih dari itu, ayat ini turun untuk menyapa ruang yang sama dalam hati semua manusia yang merasa tidak berdaya.

Al-Mujādilah ayat 1 adalah deklarasi Ilahi bahwa: sandaran paling kokoh adalah Allah, suara paling lemah tetap didengar, perempuan yang terlukai pernah membuat langit turun, dan setiap manusia punya hak untuk didengarkan. Jika kita memandang diri kita sebagai rumah yang kadang retak, ayat ini adalah tangan yang memperbaikinya. Jika kita memandang jiwa kita sebagai bejana yang pecah, ayat ini adalah emas yang menyatukannya.

Allah mendengar, bahkan sebelum kita bicara.
Allah melihat, bahkan sebelum kita menangis.

Dan setiap kali kita merasa menjadi Khawlah, ingatlah: Langit pernah bergerak hanya untuk membela satu keluhan yang lirih.

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

KOMENTAR TERKINI

  • Supardo bin Kayat on Ponpes Wali Barokah Jadi Tuan Rumah Musda VII LDII Kota Kediri
  • Mansur Ghozali on Rakor Lintas Agama, LDII Lamsel Dukung Jaga Kondusivitas Jelang Nataru
  • Supardo bin Kayat on Musda VII LDII Kota Kediri Aklamasi Pilih Kembali Agung Riyanto Sebagai Ketua
  • Supardo bin Kayat on NU Serang Hadiri Pengajian LDII untuk Perkuat Sinergi
  • Nanang Naswito on Dosen Lemdiklat Polri Tekankan Adaptasi dan Nilai Kebangsaan sebagai Penopang NKRI
  • Trending
  • Comments
  • Latest
NU Serang Hadiri Pengajian LDII untuk Perkuat Sinergi

NU Serang Hadiri Pengajian LDII untuk Perkuat Sinergi

December 16, 2025
Ponpes Wali Barokah Kirim Puluhan Santri Dukung Program Lingkungan Pemkot Kediri

Ponpes Wali Barokah Kirim Puluhan Santri Dukung Program Lingkungan Pemkot Kediri

December 21, 2025
Pengajian Akbar LDII Polman Hadirkan Layanan Cek Kesehatan Gratis

Pengajian Akbar LDII Polman Hadirkan Layanan Cek Kesehatan Gratis

December 16, 2025
PBNU Tegaskan Pancasila Tak Bisa Dipertentangkan dengan Agama

PBNU Tegaskan Pancasila Tak Bisa Dipertentangkan dengan Agama

December 16, 2025
PBNU Tegaskan Pancasila Tak Bisa Dipertentangkan dengan Agama

PBNU Tegaskan Pancasila Tak Bisa Dipertentangkan dengan Agama

3
Buku Sejarah Indonesia Diluncurkan, Negara Tegaskan Peran Merawat Memori Kolektif Bangsa

Buku Sejarah Indonesia Diluncurkan, Negara Tegaskan Peran Merawat Memori Kolektif Bangsa

2
Ponpes Wali Barokah Jadi Tuan Rumah Musda VII LDII Kota Kediri

Ponpes Wali Barokah Jadi Tuan Rumah Musda VII LDII Kota Kediri

1
Rakor Lintas Agama, LDII Lamsel Dukung Jaga Kondusivitas Jelang Nataru

Rakor Lintas Agama, LDII Lamsel Dukung Jaga Kondusivitas Jelang Nataru

1
Mendengar Desah yang Tak Terdengar

Mendengar Desah yang Tak Terdengar

December 22, 2025
Menghindari Dosa Jelang Pergantian Tahun

Menghindari Dosa Jelang Pergantian Tahun

December 22, 2025
DPP LDII: Ibu Berdaya dan Berkarya Jadi Fondasi Indonesia Emas 2045

DPP LDII: Ibu Berdaya dan Berkarya Jadi Fondasi Indonesia Emas 2045

December 22, 2025
DPW LDII Jakarta Jalin Sinergi dengan Dinas KPKP Bahas Urban Farming dan Juleha

DPW LDII Jakarta Jalin Sinergi dengan Dinas KPKP Bahas Urban Farming dan Juleha

December 21, 2025

DPP LDII

Jl. Tentara Pelajar No. 28 Patal Senayan 12210 - Jakarta Selatan.
Telepon: 0811-8604544

SEKRETARIAT
sekretariat[at]ldii.or.id
KIRIM BERITA
berita[at]ldii.or.id

BERITA TERKINI

  • Mendengar Desah yang Tak Terdengar December 22, 2025
  • Menghindari Dosa Jelang Pergantian Tahun December 22, 2025
  • DPP LDII: Ibu Berdaya dan Berkarya Jadi Fondasi Indonesia Emas 2045 December 22, 2025

NAVIGASI

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

KATEGORI

Kirim Berita via Telegram

klik tautan berikut:
https://t.me/ldiibot

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.

No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.