Oleh KH Aceng Karimullah *)
Ibarat hujan deras yang turun semalaman pada Lailatul Qadar, setiap orang memiliki kapasitas berbeda dalam menampung air tersebut. Ada yang hanya mampu menampung satu gelas, ada yang bisa menampung satu timba, dan ada pula yang dapat menampung satu bak besar.
Semua itu terjadi sesuai dengan kemampuan dan atas izin-Nya. Namun, ada juga yang sudah menampung air satu bak besar, tetapi akhirnya kehilangan semuanya karena baknya bocor. Akibat ujub, takabur, hasad, dan dengki.
Untuk itu, mari laksanakan ibadah di malam Lailatul Qadar dengan khusyuk, tawadhu’, dan tadharru’. Bagi yang mampu beri’tikaf, lakukanlah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Namun, bagi yang tidak dapat beri’tikaf karena tugas atau alasan lain, bukan berarti kehilangan kesempatan meraih malam penuh kebarokahan ini. Perbanyaklah dzikir, doa, dan sedekah, meskipun dilakukan di luar masjid.
Thalhah bin Ubaidillah pernah menceritakan sebuah kisah. Dua orang lelaki dari Baly (Syria) datang kepada Rasulullah SAW untuk menyatakan keislaman mereka. Sebut saja si A dan si B. Mereka masuk Islam secara bersamaan. Si A kemudian gugur sebagai syahid dalam perjuangan, sedangkan si B meninggal setahun kemudian dengan cara biasa.
Suatu malam, Thalhah bermimpi melihat dirinya di depan pintu surga bersama si A dan si B. Seorang penjaga surga keluar dan mengizinkan si B, yang meninggal biasa, untuk masuk terlebih dahulu. Setelah itu, si A yang syahid, baru diperbolehkan masuk. Ketika giliran Thalhah, penjaga berkata kepadanya, “Kamu pulang saja, karena belum waktunya bagimu.”
Pagi harinya, Thalhah menceritakan mimpinya kepada para sahabat, dan mereka heran mengapa si B masuk surga lebih dahulu daripada si A yang mati syahid. Ketika kisah ini sampai kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Apa yang kalian herankan?”. Kemudian mereka menjawab, “Itu lho Nabi, kok bisa orang yang meninggal biasa, masuk surga terlebih dahulu, dibandingkan dengan orang yang mati sebagai syahid”.
Kemudian Nabi menjelaskan, “Bukankah si B meninggal setahun kemudian? Itu berarti dia sempat menemui satu Ramadan lagi. Disamping itu, dalam setahun, dia bisa salat, sekian kali salat. Dengan amalan tersebut, dia memperoleh derajat lebih tinggi, sejarak lebih, dari antara langit dan bumi”. (HR Ibnu Majah 3925)
*Ketua Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) DPP LDII