Jakarta (10/9). Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Ahmad Ali menilai Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) memiliki banyak hal menarik untuk diteliti. Ia melakukan riset untuk menerbitkan buku ketiganya berjudul “Sistem Model dan Corak Pendidikan LDII di Indonesia dalam Platform Profesional Religius”.
Hal tersebut ia sampaikan saat menjadi bintang tamu dalam program LinesTalk LDIITV beberapa waktu lalu. Rasa penasaran tentang pondasi yang dimiliki setiap warga LDII menjadi latar belakang terbitnya buku ketiga ini. Ia menilai, setiap perilaku, sikap, pola pikir bahkan tindakan yang diimplementasikan setiap hari, tidak lepas dari konsep atau pondasi yang diajarkan dalam suatu lingkungan seperti LDII.
“Saya penasaran pondasi apa yang dimiliki warga LDII. Apakah pendidikan yang diajarkan pada semua lembaga pendidikan naungan LDII itu sama? Bagaimana kurikulumnya? Ini semua membutuhkan riset mendalam,” jelasnya.
Ahmad menceritakan, ketika melakukan riset menemukan istilah menarik yaitu pengajian caberawit. Istilah tersebut tidak lazim didengar orang awam, terutama warga NU. Ia menjelaskan, umumnya pengajian untuk kategori sekolah dasar dinamai pengajian anak-anak. Filosofi cabe rawit adalah kecil-kecil tapi pedas, hal ini dimaksudkan meskipun mereka masih anak-anak namun sudah memiliki pemahaman agama yang baik.
“Ternyata lembaga pendidikan naungan LDII memiliki dua sistem pendidikan yaitu formal dan nonformal dengan banyak tingkatan. Lembaga pendidikan formal naungan LDII terdiri dari tingkat Paud, TK, SD, SMP, SMA, SMK sampai perguruan tinggi. Hal ini sama dengan lembaga pendidikan pada umumnya yang membedakan kurikulum yang diajarkan,” terangnya,
Sedangkan pendidikan nonformal LDII dimulai dari pengajian caberawit, generus dan muda-mudi. Sedangkan untuk umum, ada pengajian kelompok, ibu-ibu dan bulanan. Ahmad juga menjelaskan pendidikan non formal LDII dalam pesantren memiliki bermacam-macam model.
“Ada model klasik yaitu santri reguler fokus menyelesaikan target kurikulum khatam Al Quran dan Al Hadits, ada juga model boarding school. Santri sekaligus pelajar secara bersamaan menyelesaikan target kurikulum pondok dan sekolahnya,” jelasnya.
Cendekiawan NU tersebut juga menerangkan, LDII memiliki kurikulum berupa kitab himpunan hadits, penanaman enam tabiat luhur dan Tri Sukses Generus. Semua itu diajarkan dan ditanamkan berserta landasannya yang berasal dari Al Quran, Al Hadis dan maqolah sahabat.
Ahmad menilai, sistem pendidikan yang diajarkan LDII cukup adaptif terhadap perkembangan zaman dan mampu menanamkan nilai-nilai keagamaan yang kuat sejak dini. Karena ia menilai, akhlak atau karakter luhur tidak bisa muncul tiba-tiba, harus dipupuk dan ditanam sejak lama. (Nabil)