Oleh A Fajar Yulianto
Judi online (Judol) telah menjadi masalah serius. Bahkan ia telah menjadi industri raksasa yang menjanjikan keuntungan cepat bagi pemain modal besar. Perpanduan perputaran uang yang besar nan cepat dan kemudahan teknologi membantu judol menjadi bisnis berjejaring internasional yang melibatkan banyak pihak.
Penetrasi dan persebaran judol yang masif di kalangan akar rumput, mengubah masyarakat menjadi pecandu judi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) baru (UU No.1 Tahun 2023) tidak mampu memberikan perlindungan dan rasa adil bagi para pecandu judol sebagaimana pemakai narkoba. Para pecandu narkoba dalam KUHAP tersebut, diposisikan sebagai korban yang membutuhkan rehabilitasi, pembinaan, dan bimbingan psikologis.
Pengabaian pecandu judol sebagai korban dapat ditilik pada Pasal 426 dan 427 KUHP baru, yang mengatur tentang tindak pidana perjudian:
Pada pasal 426:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, Setiap Orang yang tanpa izin:
a. menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian;
b. menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut;
c. atau menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.
(2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesi, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.
Sedangkan pasal 427 berbunyi: Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta).
Mencermati klausul pada pasal 426 dan 427 tersebut, terdapat sisi yang remang-remang; pertama kurang jelasnya mendefinisikan judi online sehingga multitafsir dan interprestasi yang berbeda, seiring perkembangan teknologi berakibat judol semakin liar dan berkembang. Apalagi terdapat potensi kuat judol dikemas dengan format game online.
Kedua pasal perjudian ini baik 426 dan 427 sama-sama mengandung frasa “..tanpa izin…”, hal ini juga dapat bermakna judol diperbolehkan ketika mendapatkan izin. Padahal semua perbuatan perjudian adalah larangan, berdasar norma di tengah masyarakat apalagi dihadapkan kepada norma agama.
Dan ketiga ketentuan perbuatan perjudian yang tertuang dalam KUHP baru, pada sisi penegakan hukum sama sekali belum ada upaya pendekatan secara humanis, bahkan sama sekali tidak memberi ruang untuk pembinaan mental. Tiadanya penanganan dengan rehabilitasi layaknya korban penyalahgunaan narkoba, mengakibatkan tidak terlihat adanya harmonisasi/ koordinasi antaraparat penegak hukum dan lembaga terkait, dalam penanggulangan, penanganan penyembuhan bagi para pecandu judol ini.
Judi online harus dipahami sebagai fenomena yang hidup di tengah masyarakat dengan berbagai motif. Bisa dari keinginan mendapatkan uang dan kaya secara cepat dan sederhana, kemungkinan keterbatasan ekonomi, dan tidak memiliki kompetensi kerja, sehingga memilih opsi mengais uang secara instan dan keinginan hasil besar. Juga bisa jadi berawal dari iseng dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang berakibat kecanduan.
Kecanduan judi online merupakan kondisi mental karena ketergantungan, akibat rasa penasaran hingga depresi, ataupun keinginan untuk mengejar harapan. Judol juga dipicu penyakit kejiwaan, yang mengakibatkan munculnya rasa tidak pernah tenang. Beragam gangguan psikologis itulah yang membuat judol layak ditempatkan ke dalam konteks ‘penyakit masyarakat’.
Sehingga Judi Online perlu penanganan serius, untuk memulihkan keadaan pelaku agar bisa hidup kembali produktif dan sehat kembali. Solusi kriminalisasi bagi para pelaku judi online, yang berakhir pidana penjara atau denda bukanlah sebuah opsi terbaik menghentikan kecanduan perilaku tersebut.
Pelaku perlu penyembuhan dan pemulihan keadaan yang berbasis rehabilitasi dan pembinaan mental, serta upaya pemenuhan kehidupan yang layak. Latar belakang itulah yang mengharuskan pelaku judol direhabilitasi, ketimbang harus berakhir di balik jeruji besi ataupun denda sekalipun.
Penanganan penyembuhan pelaku pecandu judol berbasis rehabilitasi, sejatinya selaras dengan roh semangat KUHP baru yang menekankan aspek korektif, restoratif dan rehabilitatif, yang menempatkan KUHP bukan sebagai alat penghukuman atau kitab balas dendam.
Di sini semua pihak harus terlibat khususnya pemerintah, untuk andil memfasilitasi sarana prasarana dalam rangka menyehatkan dan memulihkan mental pecandu judol. Serta tercukupinya kebutuhan masyarakat tersebut, sehingga bisa meninggalkan judol, mampu produktif kembali dan berkontribusi positif bagi masyarakat, bangsa dan negara.
**) A. Fajar Yulianto, S.H., M.H.,CTL., adalah anggota Departemen Hukum dan HAM DPP LDII, sekaligus advokat pada Kantor Hukum Fajar Trilaksana & Rekan, juga Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Fajar Trilaksana.*

