Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Harus dalam kondisi santai, agar bisa memahami tulisan ini dengan baik. Karena termasuk materi yang berat untuk dicerna. Jangan sampai menimbulkan persepsi yang berbeda dengan yang dimaksudkan. Karena tulisan ini mengajak menyempurnakan kewajiban utama manusia yaitu shalat. Kita mulai dengan hadits masyhur berikut ini.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang (yang jelek shalatnya) tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Alquran yang mudah bagimu. Lalu rukuklah dan sertai thuma’ninah ketika rukuk. Lalu bangkitlah dan beriktidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR Muslim)
Berikutnya kita belajar dari peristiwa awal tahun 90-an, ketika Jaya Suprana menggelar konser yang kedua kalinya di Semarang. Kali ini pun dia mencoba mengulang kembali pelajaran tentang arti penting sebuah jeda. Bos Jamu Jago ini menyelipkan esensi empty space di awal konser pianonya. Waktu itu, ketika hall pertunjukan telah hening dan semua audiens telah siap menerima alunan denting piano, Jaya Suprana memecah keheningan ruangan dengan satu pencetan tuts piano saja. Setelah itu, berhenti. Ruangan jadi hening seketika untuk beberapa lama, penonton pun bertanya-tanya. Selanjutnya, kelirumolog yang pintar berhumor itu lantas mengguyur seluruh ruangan dengan buih-buih nada lewat jemarinya yang menari memainkan tuts-tuts piano.
Kenapa Jaya Suprana berhenti untuk beberapa saat setelah menekan tuts piano di awal pertunjukan? Akhirnya memang terjawab setelah konser usai. Katanya, orang telah punya persepsi yang keliru terhadap jeda. Jeda sering dipahami sebagai sebuah kekosongan belaka. Tanpa arti, tanpa makna. Padahal, menurut Jaya Suprana, sebuah irama bisa terbentuk karena ada jeda antara nada yang satu dengan nada lain. Tanpa unsur jeda, pasti bakal tak keruan bunyi musiknya. Dalam kosong sebenarnya akan ada isi dan arti.
Dalam alunan musik, jeda bukanlah sekadar keheningan—ia adalah ruang bagi nada untuk bernapas, bagi emosi untuk meresap, dan bagi makna untuk mengalir lebih dalam. Seperti awan yang memberi jeda bagi cahaya matahari untuk bersinar lebih dramatis, demikian pula dalam musik, jeda menghadirkan kekuatan yang tak terlihat, namun terasa begitu mendalam. Jeda adalah titik hening di antara denting nada, tempat di mana melodi tak hanya didengar, tetapi juga dirasakan. Ia bukan sekadar kekosongan, melainkan momen di mana hati dan pikiran menyatu dengan ritme yang mengalun. Dalam kesenyapan itu, ada ketegangan yang membangun, ada harapan yang tumbuh, ada kisah yang menanti untuk dilanjutkan.
Bagi seorang musisi, memahami jeda berarti memahami esensi dari keindahan itu sendiri. Karena tanpa jeda, nada akan kehilangan bentuknya, emosi akan kehilangan ruang untuk berkembang, dan keindahan akan terasa datar tanpa kontras yang memberi nyawa pada alunan nada. Dalam kehidupan pun demikian, jeda adalah bagian dari perjalanan. Saat kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, di sanalah kita menemukan makna, meresapi hikmah, dan mengumpulkan energi untuk melangkah lebih jauh. Sebab, seperti dalam musik, hidup pun butuh harmoni—dan harmoni hanya bisa ada jika ada jeda di antaranya.
Apa hubungan hadits di atas dengan cerita konser Jaya Suprana tentang jeda? Masak shalat disamakan dengan musik? Bukan, bukan itu? Sebagai seorang pembelajar, yang tak kenal lelah mencari dan terus mencari kefahaman diri, Allah memberikan ilham, jembatan pemahaman, dari cerita jeda Jaya Suprana itu dengan masalah tuma’ninah dalam shalat. Cermati kembali matan hadits di atas. Atau kalau kurang mantap, bisa juga disimak versi lain dari hadits yang pertama di atas. Dalam riwayat An-Nasai disebutkan dari Rifa’ah bin Raafi’, ia berkata,
كُنْتُ معَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا ِفي المَسْجِدِ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ كَانَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمُقُهُ فِي صَلاَتِهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ قاَلَ لَهُ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ قَالَ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. حَتَّى كَانَ عِنْدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَقَالَ: وَالَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ لَقَدْ جَهَدْتُ وَحَرَصْتُ فَأَرَنِي وَعَلِّمْنِي. قَالَ: إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُصَلِّيَ فَتَوَضَّأ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَكَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَاعِدًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ فَإِذَا أَتْمَمْتَ صَلاَتَكَ عَلَى هَذَا فَقَدْ تَمَّتْ وَمَا انْتَقَصْتَ ِمنْ هَذَا فَإنَّمَا تَنْتَقِصُهُ مِنْ صَلاَتِكَ.
“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, maka ada seseorang yang masuk dan mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian ia datang dan mengucapkan salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikan terus shalatnya, kemudian beliau menjawab salam. Lantas beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Lantas ia kembali kemudian mengulangi shalat, kemudian ia datang dan mengucapkan salam kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya, kemudian beliau bersabda, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Sampai seperti itu terulang hingga ketiga atau keempat kalinya. Orang (yang jelek shalatnya pun) mengatakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi yang menurunkan kitab kepadamu, aku sudah sungguh-sungguh dan semangat dalam menjalankan shalat, engkau sudah melihatku, maka sudahlah ajarilah aku.” Beliau pun bersabda, “Jika engkau ingin menjalankan shalat, berwudhulah dan perbagus wudhumu, lalu hadaplah kiblat, kemudian bertakbirlah, lalu bacalah surah. Kemudian rukuklah sampai thuma’ninah ketika rukuk. Kemudian bangkitlah dari rukuk sampai lurus berdiri. Kemudian sujudlah sampai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dari sujud sampai thuma’ninah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali sampai thuma’ninah ketika sujud, lalu bangkitlah. Jika engkau telah menyempurnakan shalatmu seperti ini, maka sudah sempurna shalatmu. Apa saja yang engkau kurang dari ini, maka berarti telah kurang dalam shalatmu.” (HR. An-Nasai)
Hadits pertama dan hadits kedua ini – Bab Al-Musii’ fii Shalatihi (Orang yang Jelek Shalatnya) memiliki banyak jalur dan banyak lafazh, diriwayatkan dari dua orang sahabat yaitu Abu Hurairah dan Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu ‘anhuma. Hadits Rifa’ah bin Raafi’ ini istimewa karena ia sendiri yang hadir dalam kisah tersebut. Karena orang yang jelek shalatnya adalah Khalad bin Raafi’ yang merupakan saudara dari Rifa’ah. Selain berbagai macam hukum yang ada dari rujukan ini, mulai dari wajibnya wudhu, wajibnya takbiratul ihram, dan sebagainya, umumnya para ulama hadits sepakat; riwayat ini dijadikan dasar wajibnya thuma’ninah di dalam shalat.
Seperti apakah thuma’ninah yang dikehendaki Nabi? Dengan tegas Nabi memberi penjelasan hingga merasa tenang anggota badannya dalam menjalani setiap gerakan shalat. Berhubung setiap gerakan shalat ada rangkaian bacaan dan doa, maka pengertian jeda Jaya Suparana sangat mendukung dan relevan dengan gerakan thuma’ninah ini. Jadi selain anggota badan itu diam, tenang, tidak bergerak, antara doa dan bacaan berikutnya juga akan sempurna jika ada jeda. Ada unjalan nafas (tarik satu nafas dan hembus satu nafas), sebelum lanjut ke gerakan berikutnya. Itulah thuma’ninah yang sempurna.
Bagaimana praktek jeda dalam sholat ini? Kelihatannya gampang, namun perlu dibiasakan. Lakukan shalat seperti biasa yang kita lakukan. Sekarang cobalah, setelah selesai bacaan setiap gerakan, sisipilah jeda sebelum ke urutan gerakan atau bacaan berikutnya. Ketika memulai shalat, mengangkat takbir dan membaca Allahu Akbar, tunggulah sampai sikap kita sempurna. Tidak bergerak dan umyek – sibuk ke sana – kemari, lalu mulai membaca iftitah. Selesai iftitah selesai, ambillah jeda lagi. Tarik nafas, satu dua tarikan baru kemudian membaca fatihatul kitab. Selesai membaca amin, jedalah sejenak, sebelum membaca ayat atau surat dari al-quran. Begitu seterusnya. Tatkala ruku’ membaca takbir dan membungkuk, jangan buru-buru membaca doa ruku’, tapi sempurnakan dulu posisi ruku sehingga tenang dengan posisi ruku. Semua sendi tulang telah kembali ke asalnya, unjal satu – dua nafas dan baru kemudian membaca doa ruku’. Selesai doa jangan terus I’tidal, jedalah sebentar sebelum I’tidal. Insya Allah akan paripurna thuma’ninah kita. Bukan bacaan yang menjadi ukuran, melainkan kethuma’ninahan kita dalam setiap gerakan. Walau kata sudah habis semua doa kita baca. Wah, kan jadi tambah lama shalatnya? Tidak mengapa, untuk meraih hal yang lebih baik dalam ibadah ini, seperti terhindar dari ancaman pencuri shalat.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُوْدَهَا أَوْ قَالَ: لَا يُقِيْمُ صُلْبَهُ فِى الرُّكُوْعِ وَالسُّجُودِ
Dari Abi Qatadah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Seburuk-buruknya manusia adalah orang yang mencuri shalatnya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencuri shalatnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “ Yaitu seseorang yang tidak sempurna rukuk dan sujudnya, atau beliau bersabda, “Yaitu orang yang tidak lurus tulang belakangnya dalam rukuk dan sujud.” (HR. Ahmad)
Semoga sekarang menjadi tahu dan faham arti unjal nafas – jeda dalam shalat. Ia simbol dari thuma’ninah. Karena itu, mari sempurnakan shalat dengannya. Walau bukan musisi, kita bisa membuat orkestra yang Indah dalam setiap gerakan shalat. Hasilnya, shalat itu menyenangkan, menyegarkan dan membahagiakan. Apalagi jika menyadari dengan sebenar-benarnya, bahwa di dalam shalat itu sedang bercengkerama dengan Yang Maha Kuasa, pasti mau berlama-lama. Tidak mau sebentar apalah cuma unjal nafas…!
AJKH Mas Kus Semakin menyempurnakan amalan sholat kura.
Alhamdulillah jazakallohu khoiro Bapak Faidzunal.
Saya sering membaca dan menyimpan sekian esai nasehat dari Bapak, termasuk esai-esai Bapak yang sudah ada di website ini lebih dari 10 tahun.
Di esai ini, Bapak bisa nasehat model presentasi (menceritakan kembali) dengan menyambungkan perumpamaan ilmu dunia (contoh jeda dalam permainan piano) dengan ilmu akhirot (tuma’ninah dalam sholat).
Mugi Alloh paring manfaat, aman, lancar, selamat, & barokah. Aamiin.
Alhamdulillah jazakallahu khaira
Bermanfaat sekali…
Alhamdulillah jazakallahukhairaa..🤲🏿
Alhamdulillah jaza kallohu khoiro Om Kus, untuk perkelingnya. Mengingatkan dan lebih menjelaskan akan riil praktek tuma’ninah dalam sholat.
Alhamdulillah tambah kefahaman barokah
Betul sekali dan setuju. Jeda~tuma’ninah..