Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
(Sebuah Hikayat tentang Hidup yang Selamat dan Jiwa yang Sehat)
Gaung kemandirian bukanlah wacana baru. Ia telah lama menggema, menjadi harapan banyak keluarga, guru, dan pemimpin masa depan. Di tengah dunia yang penuh ketergantungan dan krisis makna, kemandirian menjadi oase sekaligus kompas hidup.
Kemandirian bukan sekadar kemampuan berdiri sendiri. Ia adalah suara batin yang mengajak manusia untuk menjadi utuh: tangguh dalam pilihan, teguh dalam pendirian, dan cukup dalam kebutuhan. Di tengah zaman yang gaduh dan serba tergesa, kemandirian adalah keheningan yang menenangkan. Sayangnya, di tengah gemuruh budaya instan dan banjir ketergantungan, kemandirian menjadi semakin langka. Padahal sejak lama, banyak pesan bijak yang menggema agar manusia menanam benih kemandirian sejak dini.
Di banyak lingkungan pendidikan dan pembinaan karakter, konsep ini disandingkan dengan gagasan luhur: Tri Sukses—Alim-Faqih, Akhlaqul Karimah, dan Mandiri. Ketiganya menjadi pilar keutuhan pribadi, yang termasuk dalam 29 karakter luhur. Namun, tidak bisa dipungkiri, dari ketiga pilar tersebut, kemandirian seringkali menjadi fondasi yang paling sulit dibangun, sekaligus yang paling menentukan. Karena ia tidak bisa diajarkan hanya lewat teori—kemandirian harus dialami, dilatih, dan dipilih berulang kali dalam kehidupan sehari-hari.
Kemandirian bukan hanya perkara tidak bergantung pada orang lain, tetapi sebuah sikap hidup yang tumbuh dari dalam: berani memilih jalan sendiri, mampu bertanggung jawab atas setiap keputusan, dan cukup kuat untuk berdiri di tengah badai godaan zaman. Di masa yang empatinya menipis dan nilai-nilai mudah tergadai oleh ilusi sosial media atau ketergantungan materi, manusia yang tidak mandiri mudah sekali terseret arus. Hatinya mudah galau, pikirannya mudah goyah. Apalagi mereka yang sejak muda tidak dibekali pijakan kokoh dalam kehidupan sehari-hari.
عَنْ حَبِيبِ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ:رَأَيْتُ الْمِقْدَامَ بْنَ مَعْدِي كَرِبٍ جَالِسًا فِي السُّوقِ وَجَارِيَةٌ لَهُ تَبِيعُ لَبَنًا، وَهُوَ جَالِسٌ يَقْبِضُ الدَّرَاهِمَ.فَقِيلَ لَهُ فِيهِ، فَقَالَ: «سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، لَا بُدَّ لِلنَّاسِ فِيهَا مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ، يُقِيمُ الرَّجُلُ بِهَا دِينَهُ وَدُنْيَاهُ.»
Dari Habib bin ‘Ubaid, ia berkata: “Aku melihat al-Miqdām bin Ma’dī Karīb duduk di pasar, sementara seorang budaknya menjual susu, dan dia duduk di sana menerima dirham (uang perak).” Lalu ada orang yang mengomentari tindakannya itu. Maka al-Miqdām berkata:“ Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: **’Akan datang suatu masa di akhir zaman, di mana manusia tidak akan bisa tidak (mau tak mau) harus memiliki dirham dan dinar; dengan keduanya seorang lelaki akan menegakkan agamanya dan dunianya.’” (HR At-Thabrani – Mu’jam Al-Kabir)
Akar dari semua bentuk kemandirian sejatinya terletak pada kemandirian keuangan. Tanpa kekuatan finansial yang sehat dan bijak, seseorang akan rentan terhadap tekanan hidup, dan sulit berdiri di atas kaki sendiri. Dalam banyak komunitas spiritual pun, kita melihat realitas ini: tanpa kemampuan finansial dasar, idealisme dan spiritualitas bisa terguncang, bahkan runtuh. Jiwa-jiwa yang resah, penuh pencarian makna, akan semakin goyah jika tidak punya pegangan yang kokoh dalam hal kebutuhan dasar.
Bangsa-bangsa yang bijak telah sejak lama menyadari hal ini. Sebuah petuah dari para tetua di Jepang menyiratkan makna yang sangat dalam: “Jika ingin menyayangi anak-anakmu, jangan beri mereka ikan. Ajarkan mereka membuat pancing.” Sebab, ikan hanya bisa mengenyangkan sesaat. Tetapi kemampuan membuat pancing, dan keterampilan memancing, akan menjadi bekal seumur hidup.
Maka, meski mengejar pendidikan tinggi itu mulia dan mencari pekerjaan yang layak adalah usaha baik, menguasai minimal satu keterampilan hidup adalah keharusan. Entah itu keterampilan menulis, bertukang, melukis, bertanam, memasak, mengajar, merakit perangkat teknologi, atau bahkan kemampuan memahami dan mengelola media sosial secara bijak—semua itu bisa menjadi jalan kemandirian, pintu rezeki, dan penopang jiwa.
Banyak orang yang usianya sudah lanjut, hidupnya tetap selamat dan bermartabat bukan karena gelar yang tinggi, tapi karena keterampilan yang setia mereka rawat sejak muda. Di tengah krisis ekonomi dan sosial, yang menyelamatkan bukan teori-teori dari ruang kelas, melainkan keterampilan nyata yang bisa diterjemahkan menjadi penghasilan dan martabat.
Alangkah indah jika keterampilan itu tidak hanya membuat rekening finansial sehat, tetapi juga menyuburkan batin dan mendewasakan jiwa. Seorang sahabat yang gemar bertaman pernah berkata bahwa dunia taman bukan hanya sumber penghasilan, tapi juga cermin kehidupan. Di sana ia belajar tentang pertumbuhan, kerendahan hati, hubungan antar makhluk, bahkan tentang kematian—yang sederhana namun dalam, seperti daun tua yang jatuh tenang di waktu yang tepat.
Di sisi lain, kemandirian juga perlu ditopang oleh kebijaksanaan dalam mengelola hasil usaha. Disiplin sebagai nafas kedua kemandirian. Seorang ayah yang hidupnya selamat memberi pedoman sederhana: sepertiga penghasilan untuk kebutuhan hari ini, sepertiga untuk pendidikan anak-anak, dan sepertiga untuk cadangan masa depan. Kawan terdekat, sebagai aspek nomor tiga, dalam kebijakan ini bernama rasa cukup. Siapa pun yang hidup dengan disiplin seperti ini, akan memiliki kemungkinan sangat besar untuk menemukan ketenangan di usia tua, bebas dari kecemasan duniawi.
Kemandirian seperti ini membuka pintu kemandirian yang lebih tinggi—yakni kemandirian spiritual. Sebab mereka yang mandiri secara finansial cenderung lebih bebas memilih jalan hidupnya, termasuk dalam menjalani ibadah, merenung, dan mengabdi tanpa tekanan. Maka tak heran bila Nabi Daud ‘alaihis salam, meskipun seorang raja dan nabi, tetap memilih makan dari hasil tangannya sendiri. Bahkan, dalam satu ayat menakjubkan, disebutkan bahwa gunung-gunung dan burung-burung ikut bertasbih bersamanya.
{وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُدَ مِنَّا فَضْلا يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ (10) أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (11) }
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertashbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS Saba`: 10-11).
Kemandirian yang dilatih sejak muda akan membuka kemungkinan bagi seseorang untuk mengalami pencapaian spiritual yang dalam. Bukan semata-mata karena kesalehan lisan, tetapi karena ada keselarasan antara kerja, hati, dan keyakinan. Dalam dimensi lain diterjemahkan dalam karakter bener (kerjanya), kurup (hasilnya) dan janji (memenuhi hak dan kewajiban hidupnya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menegaskan, bahwa seseorang yang memilih mengikat tali, naik ke bukit, dan mencari kayu bakar untuk dijual—demi mencukupi kebutuhannya sendiri—itu lebih mulia daripada meminta-minta. Karena kerja adalah wujud martabat. Usaha sendiri adalah simbol keutuhan jiwa.
عَنْ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبٍ رضي الله عنه عن النبي ﷺ، قَالَ:«ما أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ.»
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia bersabda: “Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil usahanya sendiri” . [HR Bukhari]
Maka, pekerjaan rumah terbesar kita adalah menemukan keterampilan yang membuat keuangan selamat sekaligus jiwa sehat. Lalu melatih diri dalam kedisiplinan dan kebijaksanaan. Ditemani rasa cukup dan penuh kesyukuran. Barulah dari sini kita bisa berharap menemukan permata kemandirian di usia senja—sebuah permata yang kini sangat langka, namun begitu bernilai di zaman yang sudah terlalu tua, lelah, dan kehilangan arah.
👍🙏. Ideologi tumbuh ratusan tahun sehingga berpotensi besar mengalihkan kemandirian yg tidak berdasarkan agama karena fungsinya bagus2 tapi tidak sempurna bahkan bisa menipu pendukungnya. Kapitalisme didukung oleh rakyat kecil padahal merugikan rakyat kecil. Jenis Ideologi
1. *Ideologi politik*: Contohnya adalah liberalisme, konservatisme, sosialisme, dan komunisme.
2. *Ideologi ekonomi*: Contohnya adalah kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.
3. *Ideologi sosial*: Contohnya adalah feminisme, rasialisme, dan environmentalisme.
Kemandirian harus ketat difilter oleh agama baik teori maupun prakteknya karena teori ideologi itu jelas lemah karena buatan manusia.