Jakarta (24/8). Lebih dari satu abad yang lalu, para perintis bangsa seperti menyalakan api kebangkitan nasional yang berujung pada kemerdekaan Indonesia. Namun, di era modern saat ini keraguan tentang redupnya api kebangkitan menjadi isu yang sering muncul.
Hal ini disampaikan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro sekaligus Ketua DPP Singgih Tri Sulistiyono dalam Sekolah Virtual (SVK) Kebangsaan. Kegiatan tersebut digelar secara hybrid pada Sabtu (23/8) di Grand Ballroom Minhajurrosyidin, Jakarta. “LDII menjawab tantangan ini dengan menyelenggarakan SVK yang tujuannya merevitalisasi semangat kebangkitan nasional. Sekolah Virtual Kebangsaan ini berbeda dengan penataran P4 di masa lalu. SVK mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali merefleksikan tujuan awal kebangkitan nasional,” tegas Singgih.
Guru Besar Universitas Diponegoro tersebut menilai, abad ke-21 ini tujuan kebangkitan nasional dapat tercapai jika pengamalan Pancasila sebagai landasan ideologi dapat dilakukan secara menyeluruh. Ia menjelaskan ada empat kunci keberhasilan kebangkitan nasional 1.0 pada 1908 lalu — atau era pergerakan nasional.
“Pertama, kesadaran akan keterjajahan. Lahirnya kesadaran akan kondisi terjajah secara politik, ekonomi dan kultural oleh pemerintah kolonial Belanda. Para tokoh pergerakan seperti Soekarno dan Sutan Syahrir berperan penting dalam menyadarkan rakyat kecil yang saat itu menganggap penjajahan sebagai hal biasa. Kedua, organisasi pergerakan. Para tokoh perjuangan bangsa menggunakan organisasi seperti Serekat Islam dan Indische Partij sebagai alat perjuangan,” jelasnya.
Singgih melanjutkan, kunci ketiga keberhasilan kebangkitan nasional 1.0 adalah agenda transformatif. Organisasi pergerakan yang muncul memiliki pemikiran yang jauh lebih maju dari masyarakat umum. Mereka membawa terobosan yang mampu mengakomodasi keinginan rakyat sehingga memunculkan simpati dan dukungan.
“Kunci terakhir adalah menanamkan rasa nasib yang sama. Isu persamaan nasib, para tokoh pergerakan berhasil menyatukan beragam perbedaan suku, agama, dan budaya. Mereka menumbuhkan narasi kebangsaan yang kuat, yang pada akhirnya membuahkan hasil berupa Sumpah Pemuda dan kemerdekaan,” terangnya.
Ketua DPW LDII Jawa Tengah tersebut menyoroti banyaknya tantangan kebangkitan nasional 2.0 masa kini. Tantangan yang terlihat adalah terjadi erosi kedaulatan negara. Intervensi pasar bebas dan neoliberalisme menjadi tantangan terbesar. Krisis moneter yang memaksa kita terikat utang luar negeri dengan syarat mengurangi subsidi adalah salah satu contoh nyata. Hal ini menimbulkan gejala ketidakpercayaan rakyat terhadap negara, padahal negara adalah fondasi yang harus dirawat.
“Tantangan kedua adalah fragmentasi identitas. Perkembangan teknologi digital dan informasi tanpa filter memungkinkan masuknya konten yang dapat memecah belah persatuan. Isu-isu yang menyulut perbedaan dapat dengan mudah disebarkan untuk kepentingan tertentu,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan tantangan lain yang harus dihadapi adalah disonansi negara dan rakyat. Terjadi ketidakselarasan antara harapan rakyat dengan realitas kebijakan negara. Rakyat selalu menantikan jawaban nyata atas persoalan yang mereka hadapi.
“Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis kebangsaan. Krisis tersebut ditandai dengan banyak masyarakat merasa negara justru merepotkan, bahkan muncul anggapan tidak perlu ada negara. Dulu, konsep ini dikenal dengan istilah *the end of the national state*. Walaupun eksistensi NKRI masih berlanjut, krisis yang ada sangat mengkhawatirkan, terutama jika dibandingkan dengan nasib bekas Uni Soviet yang hancur,” tegasnya.
Singgih menjelaskan untuk mewujudkan kebangkitan nasional 2.0, Pancasila memiliki peran strategis sebagai kompas ideologis yang mampu menentukan arah bangsa ke masa depan. Harapanya Pancasila tidak hanya sekadar simbol, tetapi harus menjadi landasan untuk Kebangkitan Nasional 2.0.
“Melalui sila kedua, saling menghormati dan menghargai sesama menjadi bingkai persatuan. Sedangkan sila pertama menjadi pondasi dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya sila ketiga, keempat dan kelima melengkapinya. Pancasila juga menjadi pagar bagi masyarakat agar tidak terlalu memetingkan negara sendiri tanpa mementingkan negara lain,” ujarnya.
Ia menegaksan, untuk mewujudkan Kebangkitan Nasional 2.0, diperlukan lima pilar utama yaitu keadilan sosial, kemandirain ekonomi, ketahanan budaya, kedaulatan budaya dan politik serta pancasila sebagai dasar ideologis pemersatu.
“Jika dulu nasionalisme bertujuan untuk mengusir penjajah, kini nasionalisme bertujuan untuk membebaskan bangsa dari ketergantungan dan ketidakadilan. Visi inilah yang menjadi kekuatan utama untuk menggerakkan Kebangkitan Nasional 2.0. LDII turut berkomitmen untuk mewujudkan hal ini,” tutupnya.