Lembaga Dakwah Islam Indonesia
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025
No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025
No Result
View All Result
Lembaga Dakwah Islam Indonesia
No Result
View All Result
Home Dari Kami Nasehat

Keseimbangan

2025/09/23
in Nasehat
0
Ilustrasi: istock.

Ilustrasi: istock.

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsApp

Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan

Adakah praktik spiritual yang sederhana namun mendalam? Tentu ada. Tersenyum adalah jawabnya. Terutama karena senyuman jauh lebih dalam dari sekadar dua bibir lentur, melengkung dan mengembang. Ia adalah tanda jiwa sedang membuka pintunya. Tatkala seseorang tersenyum, cengkeraman pikiran yang penuh penghakiman menjadi longgar. Wajah melembut, tubuh relaks, dan hati belajar mekar. Sebuah senyuman bukan sekadar memberi kedamaian kepada orang lain, melainkan juga mengirimkan aura penyembuhan ke dalam diri sendiri. Seperti bunga yang mekar tanpa suara, senyum mengajarkan bahwa kebaikan terdalam sering lahir dari hal-hal kecil yang nyaris tak terdengar. Senyum adalah wujud kerendahan hati, penerimaan, dan cinta kasih kepada sesama. Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

مَا حَجَبَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُنْذُ أَسْلَمْتُ، وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي

“Sejak aku masuk Islam, Rasulullah ﷺ tidak pernah menghalangi aku untuk menemuinya. Dan setiap kali beliau melihatku, pasti beliau tersenyum kepadaku.” (HR. al-Bukhari no. 3035, Muslim no. 2475)

Adakah obat kesembuhan jiwa yang sederhana namun mendalam? Jawabannya ada, yaitu menerima hidup apa adanya. Kehidupan bergerak dalam putaran nasib: kadang manis, kadang getir. Ada masa kita berada di atas, ada kala kita jatuh di bawah. Semua putaran itu bukan kebetulan yang terpisah, melainkan bagian dari tarian kesempurnaan yang sama. Pikiran manusia terlalu kecil untuk bisa memahami mengapa kesedihan dan kebahagiaan harus bergantian. Namun, ketika kita berhenti melawan dan mulai berdekapan dengan hidup sebagaimana adanya, wajah kehidupan tiba-tiba berubah. Yang tadinya tampak sebagai luka, perlahan menjadi puisi indah kedamaian. Menerima hidup bukan berarti menyerah, melainkan menari bersama arus, sembari percaya bahwa setiap ayunan membawa hikmah.
Allah ﷻ berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghābun: 11)

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka. Barangsiapa ridha, maka baginya keridhaan Allah. Barangsiapa murka, maka baginya kemurkaan Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2396, dinyatakan hasan)

Adakah bentuk pelayanan spiritual yang sederhana namun mendalam? Jawabannya adalah mendengarkan dengan empati. Di zaman ini banyak jiwa yang haus didengarkan. Sebagian besar orang ingin berbicara, ingin didengar, ingin melepaskan “sampah batin” yang menumpuk. Namun, jarang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan. Padahal, ketika kita belajar mendengarkan dengan hati, kita sedang menanam benih cinta. Mungkin yang keluar dari orang lain adalah keluh kesah, amarah, atau kesedihan. Itu tampak seperti sampah. Tetapi bila kita sabar menampungnya, suatu hari sampah itu akan berubah menjadi bunga. Dan bunga pertama yang mekar bukan di hati orang yang kita dengarkan, melainkan di hati kita sendiri. Mendengarkan adalah pelayanan, sekaligus penyembuhan.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ:كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا اسْتَقْبَلَهُ الرَّجُلُ فَصَافَحَهُ لَا يَنْزِعُ يَدَهُ مِنْ يَدِهِ حَتَّى يَكُونَ الرَّجُلُ هُوَ الَّذِي يَنْزِعُ، وَلَا يَصْرِفُ وَجْهَهُ عَنْهُ حَتَّى يَكُونَ الرَّجُلُ هُوَ الَّذِي يَصْرِفُهُ، وَلَمْ يُرَ مُقَدِّمًا رُكْبَتَيْهِ بَيْنَ يَدَيْ جَلِيسٍ لَهُ.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ketika ada seseorang yang berbicara kepada Rasulullah ﷺ, beliau menghadapkan wajah dan seluruh tubuhnya kepada orang itu, hingga orang tersebut merasa dialah satu-satunya yang diperhatikan.” (HR. at-Tirmidzi no. 3640, dinyatakan hasan)

Adakah tanda sederhana bahwa jiwa sudah melangkah pulang, kembali tercerahkan? Pasti ada. Tandanya bukan pada cahaya yang memancar dari wajah, bukan pula pada gelar kerohanian yang disandang. Tanda itu tampak dalam sikap sederhana: melihat masa lalu sebagai pelajaran, bukan penyesalan. Menyambut masa depan sebagai harapan, bukan kecemasan. Dan yang paling utama, jiwa tercerahkan hidup penuh dengan kekinian. Menyatu dengan saat ini tanpa terlalu bernafsu ingin menjadi lebih begini atau lebih begitu. Ia menemukan rumah jiwa yang dekat, sedekat tarikan nafas. Tidak sombong ketika di atas, tidak larut dalam kesedihan ketika di bawah. Inilah kesederhanaan kehidupan yang memancarkan cahaya kesejatian. Allah ﷻ berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ

“Tidak ada suatu musibah yang menimpa di bumi dan pada dirimu kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan) agar kalian tidak bersedih hati atas apa yang luput dari kalian, dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan kepada kalian.” (QS. Al-Ḥadīd: 22–23)

Kesederhanaan spiritual bukan hanya gagasan abstrak. Ia pernah hadir nyata dalam kehidupan para sahabat Nabi ﷺ. Salah satu kisah yang indah adalah persaudaraan antara Salman al-Farisi dan Abu Darda’ sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut. Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata,

آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ»

“Nabi ﷺ mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) mengenakan pakaian yang kusut. Salman bertanya padanya, “Mengapa keadaanmu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali. Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman berkata lagi padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“ Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi ﷺ lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Nabi bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari).

Kisah ini memperlihatkan wajah lain dari spiritualitas yang mendalam namun sederhana: keseimbangan. Abu Darda’ ingin tenggelam sepenuhnya dalam ibadah, tetapi Salman mengingatkan bahwa hak tubuh, hak keluarga, dan hak Allah harus ditempatkan secara proporsional.

Pesan Salman Alfarisi senada dengan tiga praktik spiritual sederhana tadi. Senyum adalah keseimbangan tubuh dan jiwa, relaksasi yang memancar keluar dan masuk ke dalam. Menerima hidup adalah keseimbangan antara nasib baik dan buruk, antara suka dan duka. Mendengarkan dengan empati adalah keseimbangan antara memberi ruang pada orang lain dan merawat bunga hati sendiri. Dalam keseimbangan, jiwa tidak lagi terbebani oleh ekstremitas: tidak berlebihan dalam ibadah hingga melupakan tubuh, tidak berlebihan dalam dunia hingga melupakan akhirat. Di sanalah letak kesederhanaan yang sejati, yang mendalam, yang menyembuhkan.

Kadang manusia mencari spiritualitas dalam ritual yang panjang, doa-doa yang sulit, atau perjalanan jauh ke tempat sunyi. Padahal, kedalaman spiritual bisa ditemukan dalam hal-hal yang sederhana: senyuman yang tulus, penerimaan hidup apa adanya, telinga yang mau mendengarkan, dan hati yang selalu mencari keseimbangan dan kesyukuran. Seperti pesan Salman kepada Abu Darda’, dan pengakuan Rasulullah ﷺ yang bersabda; “Salman benar,” spiritualitas sejati bukanlah lari dari dunia, melainkan menghadirinya dengan penuh keseimbangan. Saat itulah, hidup kita pelan-pelan berubah menjadi puisi indah kedamaian.

Tags: Keseimbangannasehatspiritual

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

KOMENTAR TERKINI

  • Pri Adhi joko Purnomo on Keren, Santri Ponpes Gadingmangu yang sabet Tiga Gelar Juara Nasional
  • Pri Adhi joko Purnomo on Tanggap Bencana, LDII Bali Salurkan Bantuan pada Korban Banjir
  • Nanang Naswito on Silaturahim Buya Amiruddin MS dengan LDII Jatim untuk Perkuat Ukhuwah
  • Nanang Naswito on LDII Dorong Erick Thohir Prioritaskan Pembinaan Karakter Generasi Muda
  • Sudarmanto on LDII Dorong Erick Thohir Prioritaskan Pembinaan Karakter Generasi Muda
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Riset Soal LDII, Cendikiawan NU Temukan Istilah Menarik: Pengajian Caberawit!

Riset Soal LDII, Cendikiawan NU Temukan Istilah Menarik: Pengajian Caberawit!

September 12, 2025
LDII Yakini Jenderal Ahmad Dofiri Mampu Perkokoh Kamtibmas Sekaligus Percepat Reformasi Polri

LDII Yakini Jenderal Ahmad Dofiri Mampu Perkokoh Kamtibmas Sekaligus Percepat Reformasi Polri

September 20, 2025
Bolehkah Khutbah Jumat Selain Bahasa Arab?

Bolehkah Khutbah Jumat Selain Bahasa Arab?

May 12, 2025
Sinergi DPP LDII dan Ponpes Gadingmangu Perkuat Karakter Santriwati

Sinergi DPP LDII dan Ponpes Gadingmangu Perkuat Karakter Santriwati

September 17, 2025
LDII Sulawesi barat

LDII Sulbar Dorong Kolaborasi untuk Sukseskan Hasil Rakornas

5
LDII Dorong Erick Thohir Prioritaskan Pembinaan Karakter Generasi Muda

LDII Dorong Erick Thohir Prioritaskan Pembinaan Karakter Generasi Muda

2
Sinergi DPP LDII dan Ponpes Gadingmangu Perkuat Karakter Santriwati

Sinergi DPP LDII dan Ponpes Gadingmangu Perkuat Karakter Santriwati

2
Muswil VII, LDII Bengkulu Komitmen Wujudkan SDM Profesional Religius

Muswil VII, LDII Bengkulu Komitmen Wujudkan SDM Profesional Religius

2
Keseimbangan

Keseimbangan

September 23, 2025
Kompolnas Lakukan Monitoring di Polda Jatim, LDII Apresiasi Keterbukaan Polri

Kompolnas Lakukan Monitoring di Polda Jatim, LDII Apresiasi Keterbukaan Polri

September 22, 2025
Tingkatkan Pembinaan Masyarakat, Kapolres Klaten Silaturahim dengan LDII

Tingkatkan Pembinaan Masyarakat, Kapolres Klaten Silaturahim dengan LDII

September 22, 2025
LDII Sukoharjo Hadiri Pengajian Pemkab, Ajak Teladani Sifat Rasulullah

LDII Sukoharjo Hadiri Pengajian Pemkab, Ajak Teladani Sifat Rasulullah

September 22, 2025

DPP LDII

Jl. Tentara Pelajar No. 28 Patal Senayan 12210 - Jakarta Selatan.
Telepon: 0811-8604544

SEKRETARIAT
sekretariat[at]ldii.or.id
KIRIM BERITA
berita[at]ldii.or.id

BERITA TERKINI

  • Keseimbangan September 23, 2025
  • Kompolnas Lakukan Monitoring di Polda Jatim, LDII Apresiasi Keterbukaan Polri September 22, 2025
  • Tingkatkan Pembinaan Masyarakat, Kapolres Klaten Silaturahim dengan LDII September 22, 2025

NAVIGASI

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

KATEGORI

Kirim Berita via Telegram

klik tautan berikut:
https://t.me/ldiibot

  • Home
  • Contact
  • Jadwal Shalat
  • Hitung Zakat
  • Privacy Policy
  • NUANSA PERSADA

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.

No Result
View All Result
  • HOME
  • ORGANISASI
    • Tentang LDII
    • AD / ART LDII
    • Susunan Pengurus DPP LDII 2021-2026
    • 8 Pokok Pikiran LDII
    • Fatwa MUI
    • Daftar Website LDII
    • Video LDII
    • Contact
  • RUBRIK
    • Artikel
    • Iptek
    • Kesehatan
    • Lintas Daerah
    • Organisasi
    • Opini
    • Nasehat
    • Nasional
    • Seputar LDII
    • Tahukah Anda
  • LAIN LAIN
    • Kirim Berita
    • Hitung Zakat
    • Jadwal Shalat
  • DESAIN GRAFIS
    • Kerja Bakti Nasional 2025 dan 17 Agustus 2025

© 2020 DPP LDII - Managed by KIM & IT Division.