Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Ada satu pertanyaan sederhana namun menyentuh hati: “ Mengapa hari ini kita tidak membaca istighfar dan kalimah thayyibah lebih banyak dari kemarin?” Padahal, setiap jiwa yang beriman selalu berharap, “Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin.” Namun, ternyata perjalanan ini tidak semudah yang dibayangkan. Ada rasa malas yang menyelip, ada kesibukan yang menyita, dan ada kelemahan manusiawi yang membuat zikir kita hari ini tidak lebih banyak daripada kemarin. Kadang-kadang malah berkurang.
Dari sini kita belajar sebuah kenyataan: meningkatkan amal bukan hanya soal niat, tetapi juga soal perjuangan. Bahkan, bisa tetap konsisten dengan bacaan yang sama setiap hari saja sudah termasuk capaian besar—asal dijalani dengan penuh kesungguhan. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa Allah lebih menyukai amal yang sedikit tetapi rutin, langgeng, dan konsisten, dibanding amal yang besar tapi hanya dilakukan sesekali.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Rasulullah ﷺ ditanya: ‘ Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab: Yang paling rutin (kontinu), meskipun sedikit.” (HR. al-Bukhari no. 6465, Muslim no. 783)
Istighfar bukan sekadar permintaan ampun. Ia adalah pengakuan bahwa manusia lemah, penuh khilaf, dan membutuhkan kasih sayang Allah setiap saat. Nabi ﷺ sendiri beristighfar lebih dari 70 kali atau bahkan 100 kali dalam sehari. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
“ Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. al-Bukhari no. 6307)
Dari al-Agharr al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim no. 2702)
Kalimah thayyibah— subhānallāh, alhamdulillāh, lā ilāha illallāh, Allāhu akbar—adalah makanan ruhani. Ia membersihkan hati, melembutkan jiwa, dan menjadi simpanan pahala yang tak ternilai. Satu ucapan kalimah thayyibah saja ditimbang lebih berat daripada dunia dan seisinya. Apalagi jika diucapkan berkali-kali. Perhatikanlah, 100 ucapan mensucikan kepada Allah (membaca subhanallah) di pagi dan sore hari, pahalanya seperti haji 100 kali. Simaklah, barangsiapa yang memuji kepada Allah (membaca alhamdulillah) 100 kali di pagi dan sore hari sebagaimana orang yang menyerahkan 100 ekor kuda fi-sabilillah. Masih belum percaya, tengoklah barang siapa yang tahlil kepada Allah (membaca Laa ilaha Illallah) di pagi dan sore hari 100 kali, seperti memerdekakan 100 orang budak dari keturunan Nabi Ismail. Dan tak kalah, barang siapa yang mengagungkan kepada Allah (membaca Allahu Akbar) 100 kali di pagi hari dan di waktu sore, tidak datang seseorang dalam demikian hari yang lebih banyak daripada orang yang datang dengan apa-apa, kecuali orang yang berkata (dzikir) semisal apa-apa yang dikatakan orang, atau yang lebih banyak.” Maka, ketika lisan kita jarang mengucapkannya, hakikatnya kita sedang merelakan harta abadi terbuang percuma.
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَأَنْ أَقُولَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“ Sungguh ucapanku: Subḥānallāh (Maha Suci Allah), wal-ḥamdulillāh (Segala puji bagi Allah), wa lā ilāha illallāh (Tidak ada Tuhan selain Allah), wallāhu akbar (Allah Maha Besar) lebih aku cintai daripada apa saja yang matahari terbit di atasnya (yakni dunia seisinya).” (HR. Muslim no. 2695)
Dari Ibnu Mas’ūd radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
لَقِيتُ إِبْرَاهِيمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّي السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ الْمَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
“Aku bertemu dengan Ibrahim pada malam Isra’. Ia berkata: ‘Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu dan kabarkan kepada mereka bahwa surga itu tanahnya subur, airnya tawar, dan tanahnya masih kosong. Tanamannya adalah Subḥānallāh, wal-ḥamdulillāh, wa lā ilāha illallāh, wallāhu akbar.” (HR. at-Tirmidzī no. 3462, hasan)
Namun, realitasnya, tidak mudah untuk menjaga konsistensi. Bahkan, untuk sekadar membaca dzikir yang sama jumlahnya setiap hari pun terasa berat. Mengapa demikian? Karena perjuangan melawan hawa nafsu jauh lebih sulit daripada melawan musuh di medan perang. Setiap malam, kita menutup hari dengan harapan: “Besok saya akan lebih banyak berdzikir, lebih sering beristighfar, lebih rajin membaca kalimah thayyibah.” Namun, begitu pagi datang, kesibukan mengalir deras. Pekerjaan menuntut fokus, percakapan mengisi waktu, hiburan mudah menarik perhatian. Hingga tiba waktu malam lagi, kita sadar jumlah dzikir hari ini tak bertambah. Bahkan bisa jadi berkurang.
Di titik ini, ada dua pilihan: menyerah pada rasa malas, atau menyadari bahwa perjuangan ini memang bagian dari proses iman. Ketika seseorang bisa menjaga agar dzikirnya tetap sama jumlahnya dari hari ke hari, tanpa berkurang, sesungguhnya itu pun sudah pencapaian. Sebab, dalam pandangan Allah, amal kecil yang istiqamah lebih berharga daripada amal besar yang terputus. Sedikit tetapi rutin: itulah jalan sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ di atas: “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang kontinu (dilakukan terus-menerus), meskipun sedikit.”
Hadis ini bukan sekadar teori. Ia adalah bimbingan hidup. Allah tahu bahwa manusia mudah lelah, mudah berubah, dan sulit mempertahankan semangat tinggi secara terus-menerus. Maka, syariat ini tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang di luar kemampuan.
Bayangkan seseorang yang mampu membaca seribu kali istighfar dalam sehari, tetapi hanya kuat melakukannya tiga hari. Lalu setelah itu ia berhenti sama sekali. Bandingkan dengan orang yang hanya sanggup beristighfar seratus kali sehari, tetapi ia menjaganya setiap hari tanpa henti sepanjang tahun. Siapakah yang lebih dicintai Allah? Tentu yang kedua. Karena amalnya terus-menerus, menumbuhkan kedekatan dengan Allah secara berkelanjutan.
Istiqamah adalah kata kunci. Tanpa istiqamah, amal sebesar apa pun akan kehilangan nilai keberlanjutan. Tetapi dengan istiqamah, amal sekecil apa pun bisa menjadi tangga menuju surga. Maka, perjuangan kita bukan sekadar menambah jumlah dzikir, melainkan menjaga rutinitas dzikir itu sendiri. Menjaga agar lisan ini tidak kering dari subhānallāh, alhamdulillāh, Allāhu akbar, astaghfirullāh. Menjaga agar hati ini tidak lalai dari ingat kepada Allah.
Istiqamah memang melelahkan, tetapi ia indah. Ia tidak selalu menghadirkan gebyar semangat, tetapi justru melatih ketekunan. Ia mengajarkan bahwa perjalanan iman bukan tentang berlari sekencang mungkin di awal, tetapi tentang berjalan stabil hingga akhir.
Sering kali kita meremehkan amal kecil. Kita berpikir, “Ah, hanya membaca tasbih seratus kali, apa artinya?” Padahal, amal kecil yang rutin ibarat tetes air yang jatuh terus-menerus ke atas batu keras. Lama-lama, batu itu pun berlubang. Demikianlah hati kita. Hati yang keras akan luluh dengan dzikir yang sedikit tetapi terus-menerus.
Ketika kita bisa menjaga bacaan istighfar harian dengan jumlah tetap, meskipun tidak bertambah, itu pun sudah menjadi tanda bahwa Allah sedang menolong kita untuk istiqamah. Dan siapa tahu, dari istiqamah kecil itu Allah bukakan pintu istiqamah yang lebih besar—hingga suatu saat kita mampu menambah tanpa terasa berat.
Meskipun menjaga rutinitas sudah baik, bukan berarti kita berhenti berharap untuk lebih baik. Harapan itu tetap ada. Hanya saja, kita tidak lagi mengukur “lebih baik” semata-mata dari jumlah dzikir, tetapi juga dari kualitas hati yang menyertainya.
Hari ini, meski jumlah dzikir sama dengan kemarin, mungkin hati kita lebih hadir, lebih khusyuk, lebih merendah di hadapan Allah. Itu pun sudah termasuk lebih baik. Dan jika hari ini hati kita lebih mudah tunduk kepada Allah daripada kemarin, maka sesungguhnya kita sedang bertumbuh.
Perjalanan hidup ini singkat. Kita tidak tahu sampai kapan kesempatan untuk beristighfar dan berdzikir diberikan. Karena itu, jangan menunggu semangat besar untuk memulai amal. Mulailah dengan yang kecil, jaga agar terus berlangsung, dan biarkan Allah yang menumbuhkan keberkahan darinya.
Istighfar hari ini, meski hanya seratus kali, lebih berharga daripada seribu istighfar yang hanya menjadi angan-angan. Kalimah thayyibah hari ini, meski hanya segenggam, lebih bernilai daripada lautan dzikir yang tak pernah terlaksana. Dan jika hari ini kita mampu menjaga rutinitas yang sama dengan kemarin—tidak berkurang, tidak berhenti—itu pun sudah kemenangan. Sebab Allah mencintai amal yang sedikit tetapi rutin. Dan siapa yang amalnya dicintai Allah, dialah yang akan merasakan manisnya iman, dunia dan akhirat.