Jakarta (27/10). Sektor ketenagakerjaan di Korea Selatan (Korsel) membuka peluang bagi tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia. Salah satunya melalui program kerja sama antarpemerintah G2G (Government-to-Government). Jalur tersebut dinilai lebih aman karena diselenggarakan langsung oleh pemerintah kedua negara.
Hal tersebut disampaikan warga LDII asal Jawa Tengah yang menjadi diaspora Korea Selatan (Korsel), Yahya Maulana pada acara “Sharing Session Diaspora Cendekiawan LDII 2025” bertajuk “Membangun Jejaring Global, Menguatkan Indonesia” pada (26/10) secara hybrid di DPP LDII, Jakarta. Kegiatan tersebut di gelar oleh Departemen Hubungan Antar Lembaga dan Hubungan Luar Negeri (HAL) DPP LDII, untuk menjalin silaturahim antar warga LDII yang berada di dalam dan luar negeri.
“Untuk alur G2G, program ini menawarkan kontrak kerja awal selama tiga tahun sepuluh bulan. Alur pertama program G2G adalah pelatihan dasar yang bisa dilakukan secara mandiri, tidak perlu ikut lembaga biasa. Tapi biasanya orang indonesia melakukannya untuk mempermudah,” ungkapnya.
Ia menjabarkan salah satu syarat utama bagi calon pekerja melalui jalur G2G adalah lulus ujian kemampuan bahasa Korea, yang dikenal sebagai EPS-TOPIK (Employment Permit System – Test of Proficiency in Korean). Selain tes bahasa, terdapat tes wawancara langsung menggunakan bahasa Korea yang akan dilakukan oleh pihak Korsel.
“Setelah itu dilewati, waktunya mengirim data atau lamaran yang berhasil lolos. Kemudian menunggu kontrak kerja dari perusahaan Korsel sekitar enam bulan hingga lebih dari satu tahun, tergantung permintaan perusahaan. Setelah kontrak diterima, calon pekerja akan mengikuti pelatihan lanjutan sebelum diberangkatkan,” lanjutnya.
Yahya menjelaskan program G2G memiliki kuota yang dibagi di antara 16 negara pengirim tenaga kerja, termasuk Indonesia. Selain itu, terdapat empat sektor pilihan penempatan tenaga kerja Indonesia di Korsel, yaitu manufaktur, perikanan, pembangunan kapal (shipbuilding), dan jasa (service).
“Selain jalur G2G, terdapat program lain, yaitu P2P (Private-to-Private), yang merupakan kerja sama antara perusahaan swasta Indonesia, dengan perusahaan swasta Korsel, dengan peran pemerintah sebatas pengawasan,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan beberapa jenis visa kerja Korsel yang dibagi berdasarkan peruntukan. Visa E-9 umumnya digunakan untuk program G2G, sementara visa E-7 ditujukan bagi pekerja profesional. Terdapat juga visa E-10 yang jarang digunakan oleh masyarakat Indonesia.
“Tantangan utama yang dihadapi pekerja migran Indonesia di Korsel adalah adaptasi dengan lingkungan kerja. Karena mayoritas menggunakan bahasa Korea yang juga digunakan pada kehidupn keseharian,” tutur Yahya.
Ia juga memberikan informasi tentang penawaran beasiswa bagi masyarakat Indonesia yang ingin pergi ke Korsel dengan jalur akademik. Yahya menerangkan Pemerintah Korsel menawarkan program beasiswa penuh secara global melalui GKS (Global Korea Scholarship), yang dapat diakses informasinya melalui laman www.studyinkorea.go.kr.

Sementara itu, salah satu peserta, Hani Rosidaini, warga LDII Jakarta Pusat mengapresiasi kegiatan yang pertama kali digelar ini. Ia menyebutkan kegiatan ini sangat penting, karena dapat mempertemukan warga LDII dari kalangan intelektualis.
“Saya menganggap para diaspora dan cendekiawan adalah intelektual, sehingga acara ini sangat penting dan merasa senang bisa hadir langsung. Mengingat diaspora kita selalu bertambah. Maka perlu wadah untuk diskusi sehingga dapat memotivasi dan memberikan informasi kepada teman-teman lain yang juga ingin berkarir dan sekolah di luar negeri,” jelasnya.
Hani berharap DPP LDII dapat merapikan database diaspora dan cendekiawan dengan menyiapkan wadah yang baik sehingga selalu terkoneksi dengan baik. Sehingga diskusi dan komunikasi dapat terjalin dengan baik dan mendapat informasi yang terpercaya dari para diaspora dan cendekiawan negara tujuan.











