Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Ketika Al-Qur’an menceritakan dan mendiskripsikan orang-orang munafik dalam surah At-Taubah ayat 54, ia tidak sedang membicarakan masa lalu yang jauh. Sebab Al-Qur’an tidak membatasi konteks. Justru dengan setia membawa konteks itu dari waktu ke waktu. Tanpa jeda. Karenanya, sebenarnya ia sedang berbicara tentang kita. Manusia – manusia modern yang kerap terjebak dalam gaya dan rutinitas ibadah. Sayangnya tanpa ruh.
وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari infak-infak mereka, melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah: 54)
Ayat ini menyingkap sisi paling dalam dari dua di antara penyakit batin yang menghinggapi manusia: malas beribadah dan enggan berderma. Shalat yang semestinya menjadi oase justru terasa seperti beban yang harus secepatnya disingkirkan. Infaq yang seharusnya menjadi kebahagiaan malah terasa kehilangan. Bahkan, sampai ada yang merasa dirampok, dipaksa, bahkan ditipu.
Namun di balik teguran itu, Allah sesungguhnya sedang mengajak kita merenung. Melihat kembali akan misi tentang makna ibadah yang sejati, dan tentang bagaimana cara kita mencintai Allah dalam kehidupan sehari-hari. Yang wajar. Tanpa tekanan. Bahkan bisa senang dan tambah senang dari waktu ke waktu.
Ketika Ibadah Menjadi Formalitas
Kita hidup di zaman serba cepat, serba sibuk. Shalat sering kali tergeser oleh jadwal kerja, terlupakan oleh kesibukan dan tertinggal oleh alasan-alasan yang dibuat-buat. Mengada-ada. Tak masuk di akal. Demikian juga dengan infaq, ditunda oleh hitungan finansial, dikorupsi oleh deretan daftar kebutuhan, dikalkulasi oleh angan dan bujukan serta dilenyapkan oleh titahnya sifat pelit, arahan perilaku kikir dan dogma dedengkot yang bernama kebakhilan. Padahal, kemalasan dan kebencian terhadap amal baik semua itu, bukan sekadar soal waktu atau uang — ia adalah cermin dari jiwa yang kehilangan makna .
Pikiran kita terlalu sibuk mengejar dunia, hingga hati lupa merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta. Akibatnya, ibadah menjadi mekanis, kering, dan kehilangan ruhnya. Kita shalat karena harus, bukan karena rindu. Hingga akhirnya hilanglah tulus. Kaburlah kyusyu’. Kita memberi karena takut kehilangan dan dosa, bukan karena kesadaran dan cinta. Karena harta adalah titipan, dari Yang Maha Kuasa, untuk kita dan yang lain juga. Hingga akhirnya lahirlah bosan dan malas. Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
Betapa jelas: yang dinilai bukan banyaknya amal, tetapi hati di balik amal itu. Maka, penyakit malas beribadah sesungguhnya adalah tanda bahwa hati sedang letih, keruh dan merah; meradang, bengkak dan mengeras — bukan karena pekerjaan, tapi karena kehilangan makna. Kehilangan kesegaran, kelenturan dan kelembutan yang mengelola gairah-gairah hidup dan kehidupan.
Shalat dan Infaq: Dua Sayap Kehidupan
Dalam banyak ayat, Allah selalu menggandengkan shalat dan infaq. Maksudnya agar menjadi perhatian dan pelajaran. Terus diingatkan dan diulang. Tanpa bosan. Allah berfirman;
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43)
Keduanya seperti dua sayap burung. Yang harus ada, tak bisa terpisahkan. Shalat menegakkan hubungan dengan Allah, sementara infaq selain vertikal, juga menguatkan hubungan horisontal dengan sesama manusia. Keduanya harus seimbang dan sejalan, agar hidup bisa terbang dengan tenang. Dan tinggi.
Tanpa shalat, kita kehilangan arah. Tanpa infaq, kita kehilangan makna dan orientasi. Orang yang malas shalat mudah gelisah, terombang-ambing karena tidak punya jangkar batin. Orang yang benci infaq, mudah kikir dan berhitung bak pedagang karena tidak punya rasa cukup. Maka, ketika Al-Qur’an menegur orang yang shalat dengan malas dan infaq dengan enggan, sesungguhnya itu adalah peringatan untuk menyembuhkan penyakit hati yang akut dan menguatkan dua sayap jiwa kita yang lemah .
Dari Keterpaksaan ke Keikhlasan
Banyak orang menganggap ibadah itu berat, karena mereka belum menemukan nikmatnya. Padahal, seperti kata para ulama, “Barang siapa merasakan manisnya iman, ia takkan pernah merasa lelah dalam ketaatan.”
Keterpaksaan adalah musuh keikhlasan. Ibadah yang dilakukan karena kewajiban terasa berat. Tapi jika dilakukan karena cinta, semua terasa ringan. Shalat menjadi ruang pertemuan, bukan rutinitas. Ruang rindu untuk perjumpaan antara hamba dan Penciptanya. Kesempatan bercengkerama, menjalin keakraban bersama Sang Khaliq. Infaq menjadi kesempatan, bukan kehilangan. Kesempatan berderma, menyebarkan dan menikmati rahmat Allah bersama sesama dan makhluk lainnya.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588)
Bagi orang yang yakin kepada janji Allah, memberi justru menumbuhkan rasa cukup. Menutupi rasa kekurangan dan menyembunyikan hausnya kerakusan. Karena ia tahu, setiap yang keluar dari tangannya sebenarnya kembali kepadanya, lebih banyak dan barokah serta sedang menuju keabadian.
Kepemimpinan Batin
Dalam dunia modern, banyak orang mengejar posisi pemimpin, tapi lupa memimpin dirinya sendiri. Di era kesejagatan ini, banyak yang memperluas kursi pengaruh dan kuasa, tapi lupa untuk mempengaruhi dan meguasai diri sendiri. Padahal kepemimpinan sejati dimulai dari kemampuan menundukkan ego, menguasai diri sendiri, mengendalikan hawa nafsu, dan melatih hati untuk tulus.
Orang yang mampu memimpin dirinya untuk rajin shalat, dermawan, dan ikhlas, sesungguhnya sedang menegakkan kepemimpinan batin. Ia tak butuh panggung untuk terlihat, karena ia sudah memimpin dirinya di hadapan Allah Yang Maha Melihat. Inilah bentuk kepemimpinan yang paling mulia — bukan di atas podium, tapi di atas sajadah; bukan dengan orasi, tapi dengan dahi yang banyak bersujud dan bersedekah.
Menemukan Ketenangan
Malas shalat dan benci infaq hanyalah gejala dari kegelisahan batin yang lebih dalam: rasa takut kehilangan, rasa tidak cukup, rasa ingin mengontrol segalanya. Namun, ketika kita mulai mempercayai bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka beban itu lenyap perlahan.
Ketenangan hadir bukan karena hidup tanpa masalah, tapi karena hati kembali pasrah. Dari sinilah energi ibadah lahir — bukan dari kewajiban, tetapi dari cinta dan syukur yang mendalam tertanam. Bertumbuh seiring firman Allah;
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‘ām [6]: 162)
Jangan buru-buru menilai diri dari banyaknya amal, tapi lihatlah seberapa tulus hati di baliknya. Jangan sibuk mengukur kebaikan dari besar kecilnya infaq, tapi tanyakan apakah di dalamnya ada rasa cinta yang mengalir. Sebab, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an, amal yang malas dan enggan tidak pernah naik ke langit. Yang sampai hanyalah amal yang dilakukan dengan cinta, dengan senyum, dengan keyakinan bahwa semua ini adalah jalan kembali kepada-Nya. Jangan sampai malas shalat dan benci infaq, menghentikannya.













AJKH Mas Kus