Oleh Nabila Kartika Luthfa*
Sejak 25 November 2025, tiga provinsi di Pulau Sumatera mulai dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dilanda bencana banjir yang signifikan. Kerusakan dari infrastruktur, kerugian harta benda, hingga dampak sosial ekonomi yang meluas telah memunculkan pertanyaan publik: Mengapa Pemerintah Pusat belum menetapkan kejadian ini sebagai Bencana Nasional?
Rasanya penetapan status bencana bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah gerbang penting untuk mobilisasi sumber daya, koordinasi komando, dan penanganan yang terpusat. Keputusan ini harus didasarkan pada regulasi yang berlaku ketat di Indonesia.
Keputusan untuk menaikkan skala bencana dari daerah (Kabupaten/Provinsi) menjadi Nasional adalah wewenang eksklusif Presiden, yang diatur secara jelas dalam dua pilar regulasi utama:
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) berbunyi:
Ayat (1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
- Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
- Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
- Penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;
- Penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihak- pihak internasional lain;
- Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
- Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan
- Pengendalian pengumpulan uang atau barang yang bersifat nasional.
Ayat (2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi: meliputi:
- Jumlah korban
- Kerugian harta benda;
- Kerusakan prasarana dan sarana;
- Cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
- Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan presiden.
Dengan demikian, secara konstitusional, Presiden adalah pemegang kunci penetapan status nasional. Penetapan tersebut harus memenuhi indikator yang tertuang dalam Pasal 7 Ayat (2), meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial ekonomi.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
PP No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Pasal 23 Ayat (1) dan (2) berbunyi :
Ayat (1) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal (21) huruf b dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana.
Ayat (2) Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
PP ini memperjelas bahwa keputusan Presiden didasarkan pada pertimbangan profesional dan teknis dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang menerima laporan dari lapangan.
Dalam konteks banjir di tiga provinsi Sumatera ini, keterlambatan penetapan status nasional (jika memang terbukti diperlukan) seringkali merujuk pada satu kriteria utama dalam Pedoman BNPB: Kapasitas Penanganan Pemerintah Daerah.
Status Nasional baru akan ditetapkan jika bencana telah melampaui kemampuan dan kapasitas sumber daya penanganan Pemerintah Daerah (meliputi Aceh, Sumut, dan Sumbar secara kolektif) serta Pemerintah Provinsi tidak mampu lagi melakukan mobilisasi sumber daya dan mengaktifkan sistem komando penanganan darurat bencana.
Saat ini, Pemerintah Pusat mungkin menilai bahwa:
- Skala Dampak: Dampak di masing-masing provinsi, meskipun signifikan, masih dapat ditangani secara efektif melalui koordinasi antar provinsi dan bantuan logistik dari Kementerian/Lembaga terkait tanpa harus mengaktifkan Komando Nasional penuh.
- Kapasitas Lokal: Pemerintah Provinsi masih memiliki kapasitas fiskal dan operasional yang memadai untuk penanganan di tahap awal, meski dengan dukungan Pusat.
- Fokus Komando: Penetapan Status Nasional berarti komando penanganan di lapangan langsung diambil alih oleh Kepala BNPB, yang merupakan langkah terakhir untuk mengonsolidasikan seluruh sumber daya negara.
Bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah panggilan darurat yang memerlukan respons cepat. Meskipun regulasi telah menetapkan batas tegas antara bencana daerah dan nasional, keputusan akhir berada di tangan Presiden, didorong oleh rekomendasi BNPB berdasarkan kajian cepat dan pertimbangan apakah bencana tersebut benar-benar telah melumpuhkan kapasitas penanganan Pemerintah Daerah.
Selama status nasional belum ditetapkan, mekanisme bantuan harus tetap berjalan, namun dengan koordinasi yang didominasi oleh Pemerintah Provinsi. Masyarakat berharap agar kajian cepat yang dilakukan oleh BNPB dapat memberikan hasil yang transparan dan memastikan bahwa setiap korban dan wilayah terdampak menerima bantuan sesuai dengan skala darurat yang mereka hadapi.
*) Nabila Kartika Luthfa adalah pemerhati masalah hukum dan Wakil Sekretaris LDII News Network (LINES) DPP LDII.











