Oleh Sudarsono*
“Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) hampir menjelang. Di sisi lain, gunungan sampah di kota-kota kita bukan sekadar bau dan pemandangan muram, melainkan alarm keras bahwa cara lama “buang lalu lupa” sudah usang. Di balik krisis ini tersimpan peluang besar untuk membalik masalah menjadi momentum perubahan. Darurat sampah bisa jadi titik balik menuju kota yang sehat, berdaya, dan berkelanjutan.”
Indonesia sedang menghadapi sebuah krisis yang sering kali tidak mendapat perhatian sebesar isu-isu lain, padahal dampaknya begitu nyata dan langsung dirasakan masyarakat: darurat sampah. Setiap awal tahun, Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) selau meriah. Di sisi lain, di banyak kota, gunungan sampah bukan lagi sekadar masalah estetika atau kenyamanan visual, melainkan ancaman serius terhadap kesehatan, lingkungan, dan kehidupan sosial.
Keputusan Pemerintah Kota Tangerang Selatan menetapkan status darurat sampah hingga 5 Januari 2026 adalah sebuah alarm keras yang seharusnya menggugah kesadaran kita semua. Ketika sebuah kota besar harus mengumumkan darurat hanya karena sampah tidak lagi bisa ditangani dengan cara biasa, maka jelas ada yang salah dalam paradigma pengelolaan kita. Sampah tidak bisa lagi dipandang sebagai “barang sisa” yang bisa dibuang begitu saja, melainkan sebagai cermin dari perilaku konsumsi, pola produksi, dan tata kelola yang belum matang.
Tulisan ini mencoba mengurai potret darurat sampah di Indonesia, menjelaskan akar masalah yang melatarbelakanginya, menyingkap dampak yang ditimbulkan, serta menawarkan solusi riil yang murah dan berkelanjutan. Sebagai tambahan, kita akan belajar dari praktik baik yang dilakukan oleh LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dalam mengelola sampah berbasis komunitas, sekaligus mengaitkannya dengan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs). Dengan demikian, opini ini diharapkan tidak hanya menjadi refleksi, tetapi juga inspirasi untuk langkah nyata yang bisa dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan individu.
Potret Darurat Sampah di Indonesia
Kasus Tangerang Selatan menjadi titik awal pembahasan. Pemerintah daerah menetapkan status darurat karena TPA Cipeucang sudah tidak mampu menampung timbulan sampah harian. Warga sekitar diberi kompensasi, sementara pengangkutan dilakukan bertahap. Namun, fakta bahwa sebuah kota besar harus “menahan” pembuangan sampah menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengelolaan kita. Kota yang seharusnya menjadi pusat modernitas justru terjebak dalam masalah paling mendasar: bagaimana mengelola sisa konsumsi warganya.
Tangerang Selatan bukan satu-satunya. Di Depok, muncul TPA ilegal di Limo yang menimbulkan pencemaran dan ancaman pidana. Keberadaan TPA ilegal ini memperlihatkan lemahnya pengawasan dan tata kelola, sekaligus menunjukkan bahwa masalah sampah sering kali tidak hanya soal teknis, tetapi juga soal integritas dan penegakan hukum. Di Jawa Barat, TPA Sarimukti mengalami overcapacity hingga 1.298%, sebuah angka yang mencengangkan dan menunjukkan betapa sistem pengelolaan kita sudah jauh tertinggal dari laju produksi sampah. Di Bali, rencana penutupan TPA Suwung memicu aksi 400 truk sampah memblokir kantor gubernur, sebuah gambaran nyata bahwa sampah bisa menjadi sumber konflik sosial dan politik.
Dan tentu saja, TPA Bantar Gebang di Bekasi adalah ikon darurat sampah nasional. Setiap hari, lebih dari 7.000 ton sampah dari DKI Jakarta dikirim ke sana. Gunungan sampah setinggi belasan meter menimbulkan bau menyengat, pencemaran air tanah, serta konflik sosial dengan warga sekitar yang menuntut kompensasi kesehatan dan lingkungan. Bantar Gebang menjadi simbol betapa kota megapolitan sekalipun masih bergantung pada paradigma “buang lalu lupa”. Kehidupan warga sekitar TPA sering kali harus berdampingan dengan risiko penyakit, sementara anak-anak tumbuh di lingkungan yang tidak sehat. Kasus ini memperlihatkan bahwa darurat sampah bukan hanya masalah teknis, melainkan juga masalah keadilan sosial, di mana beban kota besar ditanggung oleh masyarakat pinggiran yang harus hidup di dekat gunungan sampah.
Secara nasional, pemerintah pusat bahkan menutup ratusan TPA karena tidak layak, sementara resistensi masyarakat terhadap pemilahan sampah masih tinggi. Potret ini menunjukkan pola yang sama: ketergantungan pada TPA, minimnya pemilahan di sumber, lemahnya koordinasi antar daerah, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Darurat sampah bukan fenomena lokal, melainkan gejala nasional yang membutuhkan perubahan paradigma besar-besaran.
Akar Masalah
Mengapa kita terjebak dalam darurat sampah? Ada beberapa akar masalah yang saling terkait dan memperkuat satu sama lain. Pertama adalah ketergantungan pada TPA. Paradigma “buang lalu lupa” membuat masyarakat merasa selesai begitu sampah diangkut dari rumah. Padahal, TPA hanyalah tempat penampungan sementara yang cepat penuh. Ketika TPA tidak lagi mampu menampung, barulah masalah muncul ke permukaan, tetapi akar persoalan tetap tidak terselesaikan.
Kedua adalah kurangnya pemilahan di sumber. Mayoritas sampah rumah tangga tercampur, sehingga sulit didaur ulang. Padahal, sekitar 60% sampah rumah tangga adalah organik yang bisa diolah menjadi kompos. Ketika sampah organik bercampur dengan plastik atau logam, maka nilai ekonominya hilang dan beban TPA semakin berat. Ketiga adalah kelembagaan dan tata kelola. Koordinasi antar daerah sering lemah, transparansi pengelolaan minim, dan kasus korupsi atau TPA ilegal menunjukkan bahwa masalah sampah tidak hanya soal teknis, tetapi juga soal governance. Keempat adalah perilaku masyarakat. Budaya konsumtif dan resistensi terhadap perubahan kebiasaan membuat upaya pemilahan sering gagal. Edukasi belum konsisten, dan masyarakat cenderung memilih cara paling mudah: buang semuanya tanpa pikir panjang.
Dampak Darurat Sampah
Darurat sampah menimbulkan dampak multidimensi yang tidak bisa diabaikan. Dari sisi lingkungan, pencemaran air tanah akibat lindi, bau menyengat, dan pencemaran udara dari pembakaran liar menjadi masalah serius. Dari sisi kesehatan, risiko penyakit akibat vektor seperti lalat, tikus, dan nyamuk meningkat. Dari sisi sosial-ekonomi, keresahan warga, aksi protes, biaya kompensasi, hingga konflik sosial muncul. Dan dari sisi citra daerah, menurunnya daya tarik wisata dan investasi menjadi konsekuensi yang nyata. Kota yang kotor sulit menarik minat wisatawan maupun investor, sehingga darurat sampah juga berdampak pada daya saing ekonomi.
Solusi Riil, Murah, dan Berkelanjutan
Solusi tidak harus mahal atau canggih. Justru, pendekatan sederhana berbasis komunitas lebih berpeluang berhasil. Pemilahan di rumah tangga bisa dilakukan dengan edukasi sederhana melalui RT/RW. Insentif non-finansial, seperti pengurangan iuran sampah bagi rumah tangga yang konsisten memilah, bisa memotivasi. Bank sampah komunitas memungkinkan warga menukar sampah anorganik dengan nilai ekonomi. Kompos skala rumah tangga bisa diolah dengan metode sederhana seperti takakura atau lubang biopori. Gerakan zero waste di sekolah bisa membentuk generasi baru yang lebih peduli. Kolaborasi lintas RT/RW memperkuat solidaritas sosial, sementara digitalisasi sederhana melalui grup WhatsApp bisa mempermudah koordinasi. Semua solusi ini murah, realistis, dan berkelanjutan.
Strategi Implementasi
Solusi di atas perlu strategi implementasi yang realistis. Edukasi publik harus dilakukan dengan kampanye kreatif menggunakan bahasa segar, melibatkan influencer lokal atau tokoh masyarakat. Pemerintah daerah perlu membuat regulasi insentif dan menyediakan fasilitas dasar seperti tong sampah terpilah. Masyarakat sipil bisa menjadi motor penggerak melalui komunitas lingkungan. Monitoring sederhana dengan laporan foto atau sistem poin partisipasi bisa menjaga konsistensi. Strategi ini tidak membutuhkan dana besar atau teknologi canggih, tetapi membutuhkan komitmen dan konsistensi.
Apa yang Telah Dilakukan LDII sebagai Lesson Learned
LDII memberikan contoh nyata bahwa pengelolaan sampah bisa dilakukan dengan murah dan berkelanjutan. Mereka konsisten menyerukan pemilahan sejak rumah tangga, serta aktif menggaungkan tema Hari Peduli Sampah Nasional 2025 yaitu “Kolaborasi untuk Indonesia Bersih”. Praktik sederhana seperti kompos rumah tangga, bank sampah berbasis masjid atau komunitas, serta edukasi anak-anak melalui kegiatan sekolah dan pengajian menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari komunitas kecil. Lesson learned dari LDII adalah bahwa pemilahan di sumber adalah kunci keberhasilan, kolaborasi lintas komunitas memperkuat dampak, edukasi berulang membentuk kebiasaan baru, dan integrasi nilai agama serta lingkungan membuat gerakan lebih diterima masyarakat.
Relevansi dengan Sustainable Development Goals (SDGs) juga sangat jelas. Pengelolaan sampah yang baik mendukung SDG 3 (Good Health and Well-being) karena mengurangi risiko penyakit akibat pencemaran dan faktor sampah.
Kesimpulan
Darurat sampah adalah cermin dari perilaku konsumsi dan tata kelola yang belum matang. Kasus Tangerang Selatan hanyalah satu dari sekian banyak alarm yang harus kita dengar. Akar masalahnya jelas: ketergantungan pada TPA, minimnya pemilahan, lemahnya kelembagaan, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Dampaknya pun nyata: pencemaran, penyakit, keresahan sosial, hingga menurunnya citra daerah.
Namun, solusi tidak harus mahal atau canggih. Pemilahan di rumah tangga, bank sampah komunitas, kompos sederhana, gerakan sekolah, kolaborasi RT/RW, dan digitalisasi sederhana bisa menjadi langkah nyata. LDII memberi pelajaran bahwa gerakan berbasis komunitas, dengan integrasi nilai agama dan lingkungan, mampu menghasilkan dampak signifikan.
Kita perlu mengubah paradigma dari “buang lalu lupa” menjadi “kelola bersama”. Harapan masa depan adalah kota yang bersih, sehat, dan berdaya. Ajakan aksi sederhana: setiap individu bisa berkontribusi, tanpa menunggu teknologi canggih atau dana besar. Darurat sampah bukan sekadar masalah pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama.
**) Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc, adalah Koordinator Bidang (Korbid) Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (LISDAL), Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII) dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor.










