Oleh Thonang Effendi*
Fondasi karakter luhur dibangun dari kebiasaan yang anak lihat, rasakan, dan tiru di rumah, terutama keteladanan yang dipraktikkan oleh ibu. Pengasuhan sehari-hari dengan kesabaran, penerimaan, arahan, latihan, motivasi, dan kepercayaan yang dilakukan secara konsisten, pelan namun pasti membangun fondasi karakter luhur dalam diri masing-masing anak.
Membayangkan sosok ibu, terpampang jelas dalam ingatan, klebatan-klebatan peristiwa di masa kecil saat diasuh oleh ibu. Juga peristiwa sehari-hari di rumah, bagaimana seorang istri—ibu dari anak-anak —mengasuh dan menjaga para buah hatinya.
Para wanita umumnya memang bukan ibu yang sempurna, melainkan seorang ibu biasa yang memiliki kekurangan, kadang bersikap dan berkata yang belum sepenuhnya sesuai dengan *parenting skills*. Lebih dari itu, keberadaan anak-anak justru membuat seorang ibu terus belajar untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Momen Hari Ibu, 22 Desember tahun ini, menjadi momentum bagi seorang istri—ibu dari anak-anak —untuk merefleksikan diri, “Sudahkah mampu menjadi seorang ibu yang baik?” Sebuah pertanyaan sederhana yang membutuhkan waktu tidak sebentar untuk menjawabnya. Pertanyaan serupa juga sempat diajukan oleh seorang suami kepada sang istri, “Apa yang membuat Mama bahagia melihat anak-anak bertumbuh?”
Diam sejenak, keheningan pun menyeruak. Dengan tegas namun lembut, istri pun menjawab, “Ada kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan materi, yaitu saat Mama melihat anak-anak tumbuh sehat, cerdas, kreatif, dan baik hati. Kebahagiaan terbesar bagi Mama bukanlah saat melihat anak-anak berdiri di puncak prestasi duniawi, melainkan saat melihat mereka tumbuh menjadi pribadi yang shalih–shalihah dan mempraktikkan 29 karakter luhur.”
Istri pun melanjutkan, “Dunia mungkin melihat kesuksesan dari angka dan gelar, orang lain mungkin menilai kesuksesan dari peringkat dan pencapaian.” Ia kembali diam sejenak, lalu melanjutkan, “Bagi Mama, kesuksesan adalah ketika melihat anak-anak tetap menjaga ibadah di tengah hiruk-pikuk dunia, mendengar kata-kata anak-anak yang selalu bersyukur dan menyejukkan hati, melihat mereka saling rukun dan mendukung satu sama lain, serta melihat cara berteman mereka yang ramah dan gemar membantu sesama.”
Dari sepenggal dialog sederhana di ruang keluarga tersebut, kita dapat menyaksikan betapa penting peran ibu dalam meletakkan fondasi karakter luhur bagi anak-anaknya. Seorang ibu juga menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Anak-anak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, ada satu hal yang mampu membingkai kelebihan dan kekurangan itu menjadi keunggulan pribadi, yaitu memiliki hati yang baik dan menerapkan 29 karakter luhur dalam kehidupan sehari-hari.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan saat ini yang menuntut kecepatan, pencapaian, dan validasi, tidak jarang sebagian generasi muda mengabaikan karakter luhur demi memenuhi tuntutan zaman. Di sinilah pentingnya 29 karakter luhur yang dikembangkan oleh LDII untuk dimiliki oleh generasi penerus, pewaris, dan pengisi kemerdekaan NKRI, guna mewujudkan Generasi Indonesia Emas 2045.
Seorang tokoh dunia pernah berkata, “Bila seseorang kehilangan karakter, maka dia kehilangan segalanya.” Pernyataan ini masih sangat relevan di percaturan global saat ini, ketika kepercayaan (*trust*) menjadi landasan utama dalam berbisnis dan bermuamalah.
Pribadi berkarakter yang senantiasa mempraktikkan 29 karakter luhur tidak terbentuk dalam hitungan hari, melainkan terus bertumbuh seiring bertambahnya usia dan kedewasaan. Dengan prinsip nggayuh marang kasampurnan—selalu berusaha menuju kesempurnaan—dari generasi ke generasi saling menjaga, mengondisikan, dan membangun fondasi agar 29 karakter luhur terus lestari, tumbuh, dan *mbalung sumsum* menjadi karakter asli (indigenous) dari setiap generasi penerus.
Dalam konteks ini, anak-anak membutuhkan peran seorang ibu yang menjaga konsistensi pembiasaan 29 karakter luhur dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari persiapan tidur, bangun tidur, berkegiatan, hingga kembali beristirahat. Dengan penuh kesadaran dan harapan besar terhadap masa depan anak-anaknya, seorang ibu mencurahkan segala perhatian, daya upaya, dan karyanya untuk menjadi figur serta contoh nyata dalam mempraktikkan 29 karakter luhur.
Seorang anak perempuan kelak akan menjadi ibu. Seorang anak laki-laki kelak akan menjadi ayah yang membantu dan membersamai istri—ibu dari anak-anaknya. Anak-anak hari ini, pada masanya, akan meletakkan fondasi 29 karakter luhur kepada generasi berikutnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ibu mereka.
Pada akhirnya, sejenak kita renungkan refleksi sederhana di ruang keluarga. Sudahkah kita siap menjadi ibu teladan bagi anak-anak? Sudahkah kita siap menjadi suami teladan yang membantu dan membersamai istri—ibu dari anak-anak kita?
*) Thonang Effendi adalah Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII










