— Sebuah Renungan tentang Microplastik —
Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Di antara segala keajaiban yang diciptakan manusia, plastik mungkin salah satu penemuan paling paradoksal. Ia ringan, lentur, dan serba guna — lambang kemajuan dan kemudahan hidup modern. Namun, di balik kenyamanan yang ia bawa, terselip benih kehancuran yang halus, nyaris tak terlihat dalam perjalanannya. Ia kini ada di mana-mana: di lautan, di tanah, di udara, bahkan di dalam darah kita sendiri. Itulah microplastik — serpihan kecil dari peradaban yang kehilangan kendali atas inovasi ciptaannya.
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A‘raf: 56)
Microplastik adalah potongan plastik berukuran sangat kecil, umumnya berdiameter kurang dari 5 milimeter, yang kini telah mencemari hampir seluruh ekosistem di bumi — mulai dari lautan, sungai, tanah, udara, hingga tubuh manusia. Walau ukurannya kecil dan tampak sepele, dampaknya besar terhadap lingkungan dan kesehatan.
Jejak Kecil dari Kebiasaan Besar
Microplastik tidak lahir dari kebetulan, melainkan dari kebiasaan yang pelan-pelan berubah menjadi budaya: budaya sekali pakai, budaya nyaman tanpa tanggung jawab. Setiap pakaian sintetis yang kita cuci, setiap botol plastik yang kita buang, setiap jalanan yang dilalui ban kendaraan — semuanya meninggalkan jejak halus di bumi. Jejak yang tidak terhapus bahkan oleh waktu.
Plastik tidak pernah mati; ia hanya pecah menjadi serpihan lebih kecil, menembus air yang kita minum dan udara yang kita hirup. Ia seolah berkata: _“Aku bagian dari kalian sekarang.”_Dan memang benar, di tubuh manusia kini ditemukan partikel microplastik — tanda betapa tipisnya batas antara pencipta dan inovasinya.
Rumi pernah menulis:
“Apa pun yang kau tabur di tanah kehidupan, akan tumbuh kembali ke dalam dirimu.”
Kini, kita menanam plastik, dan plastik pun tumbuh di dalam tubuh kita — sebuah panen sunyi dari ketidaksadaran massal.
Senyapnya Bahaya yang Mengintai
Pencemaran masa kini tak lagi berupa asap tebal atau tumpukan sampah busuk. Ia hadir dalam bentuk yang tak kasat mata — partikel halus yang melayang di udara, mengendap di laut, dan menyelinap ke dalam sel tubuh manusia. Kita meneguknya dari air kemasan, menghirupnya di udara kota, menelannya bersama makanan laut yang kita santap dengan tenang.
Thomas Berry, seorang teolog ekologis, pernah menulis dengan getir:
“Krisis lingkungan bukan sekadar krisis ekologis, tetapi krisis spiritual. Kita telah kehilangan rasa hormat kepada bumi sebagai persekutuan hidup.”
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan neraca (keseimbangan). Supaya kamu jangan melampaui batas terhadap keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman [55]: 7–8)
Barangkali benar. Karena yang kita hadapi bukan semata krisis sampah, tetapi krisis kesadaran — lupa bahwa bumi bukan objek, melainkan rumah tempat kita bersama.
Luka yang Tidak Terlihat
Bahaya microplastik mungkin bisa diukur secara ilmiah: gangguan hormon, peradangan, atau kanker. Tapi luka yang lebih dalam tidak terukur: hilangnya kepekaan batin manusia terhadap kesucian alam. Setiap kali sungai tercemar, gunung digunduli, atau laut dijadikan tempat pembuangan, sesungguhnya yang rusak bukan hanya lingkungan — tetapi juga hubungan spiritual manusia dengan Tuhannya.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]: 41)
Sayyid Quthb pernah menulis dalam Fi Zhilalil Qur’an: “Kerusakan di darat dan laut bukanlah hukuman, melainkan tanda bahwa manusia telah keluar dari keseimbangan fitrahnya.”
Maka microplastik, sekecil apa pun, adalah tanda: bahwa keseimbangan itu retak. Bumi sedang menampilkan kembali wajah kita yang tak lagi mengenali maknanya sendiri.
Menjadi Saksi dan Penebus
Mungkin kita tak mampu memulihkan semua kerusakan. Tapi kita masih bisa menumbuhkan kesadaran — kesadaran yang perlahan mengembalikan kesucian niat dalam setiap tindakan kecil. Menolak kantong plastik, menggunakan botol isi ulang, memilih bahan alami — bukan sekadar gaya hidup, tapi bentuk taubat ekologis .
Seperti yang diingatkan Rumi:
“Kemarin aku pintar, maka aku ingin mengubah dunia.
Hari ini aku bijak, maka aku mengubah diriku sendiri.”
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil — dari hati yang kembali sadar bahwa bumi ini adalah tubuh yang sama dengan tubuh kita sendiri.
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi.” — (QS. Al-An‘am: 165)
Penutup: Seruan dari Dalam Nafas
Mikroplastik mengajarkan kita sesuatu yang dalam: bahwa yang kecil dan tak terlihat bisa mengubah segalanya. Mungkin Tuhan sedang menegur manusia bukan lewat bencana besar, tetapi lewat partikel halus yang ikut bernafas bersama kita — seolah berkata:
“Lihatlah, bahkan udara pun kini memanggul jejak ketidaksabaranmu.”
Sudah saatnya kita berhenti dan mendengar. Sebab di balik setiap serpihan kecil plastik, ada gema pelan dari bumi — suara yang mengingatkan kita untuk kembali bernafas dengan kesadaran, dengan hormat, dan penuh kasih.
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
“Dunia ini hijau dan indah, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai pengelola di dalamnya. Maka Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat.” (HR. Muslim, no. 2742)












