Oleh Sudarsono*
Perubahan iklim telah menjadi isu paling mendesak dalam sejarah umat manusia. Dampaknya terasa di seluruh penjuru dunia—dari naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem, hingga kerusakan ekosistem dan penurunan kualitas hidup. Salah satu penyebab utama perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca (GRK), yang berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan konversi lahan.
Untuk mengatasi tantangan ini, dunia membutuhkan pendekatan yang tidak hanya bersifat global, tetapi juga lokal. Salah satu strategi yang terbukti efektif adalah peningkatan cadangan karbon melalui penanaman pohon, penghijauan, dan reboisasi. Cadangan karbon adalah jumlah karbon yang tersimpan dalam biomassa vegetasi dan tanah, yang berfungsi sebagai penyerap (sink) GRK dari atmosfer.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, cadangan karbon tidak hanya menjadi alat mitigasi iklim, tetapi juga komoditas ekonomi. Melalui skema perdagangan karbon, individu, komunitas, dan organisasi dapat menjual tambahan cadangan karbon kepada perusahaan atau institusi yang ingin mengimbangi emisi mereka. Inilah peluang yang kini mulai dijajaki oleh organisasi kemasyarakatan di Indonesia, termasuk LDII.
Belajar dari IPB – Model Perdagangan Karbon Voluntary
Salah satu contoh sukses dari skema perdagangan karbon voluntary datang dari Institut Pertanian Bogor (IPB University). IPB mengelola hutan pendidikan Gunung Walat di Sukabumi, Jawa Barat, yang awalnya memiliki tutupan vegetasi rendah akibat kerusakan hutan. Melalui program rehabilitasi, IPB menanam pohon dan merawatnya hingga tumbuh menjadi tegakan sehat.

Pada tahun 2004 IPB menawarkan kepada Perusahaan Tanabe Jepang untuk bekerjasama merehabilitasi lahan yang kosong dengan skema perdagangan karbon berbasis voluntary. Skema ini mewajibkan pihak IPB menanam pohon pada areal yang masih kosong dan setiap tahun melaporkan jumlah karbonnya kepada perusahaan dan sebagai imbalannya perusahaan memberikan kompensasi dana atas karbon yang sudah diperoleh. Mulai tahun 2009, perusahaan-perusahaan yang lainnya menysul yaitu: Toso company, Jepang, NYK Group Jepang dan Conoco Philips Indonesia.
Oleh IPB, sebagian dana karbon yang diperoleh, selanjutnya dimanfaatkan untuk beasiswa bagi mahasiswa IPB yang memerlukan. Model ini menunjukkan bahwa perdagangan karbon bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan pendidikan.
Model IPB ini dapat menjadi inspirasi bagi organisasi lain, termasuk LDII, untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon voluntary. Dengan pendekatan ilmiah dan transparan, skema ini dapat menjadi jalan bagi masyarakat sipil untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim sekaligus memperoleh manfaat ekonomi.
LDII dan Komitmen Lingkungan
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) telah lama menunjukkan komitmennya terhadap isu-isu lingkungan. Sejak Rakernas tahun 2012, LDII secara resmi memposisikan diri sebagai ormas Islam yang peduli terhadap kelestarian alam. Gerakan GoGreen dan penanaman pohon menjadi ciri khas LDII yang dikenal luas oleh masyarakat.
Komitmen ini tidak berhenti pada kampanye dan edukasi. LDII telah melakukan berbagai kegiatan nyata di tingkat tapak, termasuk pengukuran cadangan karbon dan konservasi vegetasi. Salah satu lokasi yang menjadi fokus adalah Bumi Perkemahan Cinta Alam Indonesia (BP CAI) Wonosalam, Jombang, Jawa Timur.
BP CAI Wonosalam bukan hanya tempat rekreasi, tetapi juga menjadi pusat edukasi dan pembinaan karakter cinta lingkungan bagi generasi muda, khususnya alumni Pondok Pesantren Wali Barokah (PPWB). Kegiatan Kemping Cinta Alam Indonesia (CAI) yang diadakan setiap tahun menjadi sarana pembentukan karakter peduli lingkungan yang kuat.
Potensi Cadangan Karbon di BP CAI Wonosalam
BP CAI Wonosalam merupakan area hutan rakyat seluas 23,89 hektar, dengan variasi tutupan vegetasi 21.73 ha terbagi dalam tegakan rapat, tegakan jarang, bambu, serta area terbuka dan bangunan. Melalui survei vegetasi dan pengukuran cadangan karbon menggunakan pendekatan allometrik, LDII mencatat potensi cadangan karbon sebesar 17.408 ton CO₂e, atau sekitar 801 ton CO₂e per hektar.
Vegetasi yang ada di lokasi ini masih tergolong sedang dan dapat ditingkatkan melalui penanaman kembali, reboisasi, dan konservasi tanaman lokal maupun introduksi spesies berkarbon tinggi. Dengan potensi ini, BP CAI Wonosalam memiliki modal awal untuk masuk ke skema perdagangan karbon voluntary.
Pemetaan menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa sebagian besar area di sekitar BP CAI telah mengalami degradasi vegetasi, bahkan konversi menjadi lahan pertanian. Hal ini membuka peluang besar untuk rehabilitasi dan peningkatan cadangan karbon secara signifikan.

Strategi Pengembangan Cadangan Karbon
Langkah awal yang dilakukan LDII adalah mendata kondisi vegetasi dan melakukan inventarisasi ekologis. Sampel sebesar 5% dari total luasan diambil untuk mengestimasi populasi vegetasi dan kandungan karbon. Hasilnya menunjukkan bahwa cadangan karbon di BP CAI Wonosalam masih dapat ditingkatkan secara signifikan.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain:
– Penanaman pohon berkarbon tinggi seperti trembesi, sengon, dan tanaman buah lokal.
– Reboisasi area terbuka dan konversi lahan pertanian yang tidak produktif.
– Konservasi vegetasi eksisting dan pengendalian alih fungsi lahan.
– Edukasi masyarakat sekitar tentang pentingnya cadangan karbon dan potensi ekonomi dari perdagangan karbon.
Selain itu, LDII juga berencana untuk merancang program monitoring dan evaluasi berkala untuk memastikan keberlanjutan proyek. Data vegetasi akan diperbarui secara periodik, dan hasilnya digunakan untuk menyusun laporan karbon yang dapat diverifikasi oleh lembaga independen.
Menuju Perdagangan Karbon Voluntary
Dengan data cadangan karbon yang telah terukur, BP CAI Wonosalam memiliki modal awal untuk masuk ke skema perdagangan karbon voluntary. Dalam skema ini, pihak pengelola dapat menjual tambahan cadangan karbon kepada perusahaan atau institusi yang ingin mengimbangi emisi GRK mereka. Dana yang diperoleh dapat digunakan untuk mendanai kegiatan lingkungan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat.
Untuk mewujudkan hal ini, beberapa langkah penting perlu dilakukan:
– Validasi data cadangan karbon oleh lembaga independen.
– Penyusunan dokumen klaim karbon sesuai standar internasional.
– Pemetaan area intervensi dan rencana peningkatan cadangan karbon.
– Kemitraan dengan pembeli karbon potensial dan lembaga pendukung.
LDII juga membuka peluang kolaborasi dengan pemerintah daerah, lembaga donor, dan sektor swasta untuk memperluas dampak program. Dengan pendekatan kolaboratif, BP CAI Wonosalam dapat menjadi model perdagangan karbon yang inklusif dan berkelanjutan.
BP CAI Wonosalam sebagai Model Nasional
Keberhasilan LDII dalam membantu pengelola untuk menjadikan BP CAI Wonosalam sebagai cadangan karbon membuka peluang untuk menjadikannya sebagai model nasional. Lokasi ini tidak hanya memiliki nilai ekologis, tetapi juga nilai edukatif, sosial, dan ekonomi. Dengan pendekatan yang terintegrasi, BP CAI Wonosalam dapat menjadi contoh bagaimana ormas keagamaan dapat berkontribusi nyata dalam mitigasi perubahan iklim.
Model ini dapat direplikasi di berbagai daerah dengan karakteristik serupa. LDII dapat menjadi fasilitator dan mentor bagi komunitas lain yang ingin mengembangkan cadangan karbon dan masuk ke perdagangan karbon voluntary. Dengan dukungan kebijakan dan kemitraan strategis, potensi ini dapat berkembang menjadi gerakan nasional.
Kontribusi terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG)
Kegiatan yang dilakukan LDII di BP CAI Wonosalam sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), khususnya:
– SDG13 (Aksi Iklim): Mengurangi emisi GRK melalui peningkatan cadangan karbon.
– SDG7 (Energi Bersih dan Terjangkau): Mendorong transisi ke ekonomi hijau berbasis karbon.
– SDG12 (Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab): Mengedukasi masyarakat tentang jejak karbon dan konservasi sumber daya alam.
– SDG15 (Ekosistem Daratan): Melindungi, memulihkan, dan mempromosikan penggunaan berkelanjutan ekosistem hutan.
Dengan pendekatan berbasis komunitas dan nilai keagamaan, LDII menunjukkan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat dimulai dari akar rumput dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Cinta Alam untuk Masa Depan
BP CAI Wonosalam bukan hanya lahan perkemahan—ia adalah simbol cinta alam Indonesia. Melalui pengukuran cadangan karbon, penanaman pohon, dan strategi perdagangan karbon, LDII telah menunjukkan bahwa ormas keagamaan dapat menjadi aktor penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Langkah ini bukan akhir, melainkan awal dari gerakan hijau yang lebih besar. Dengan semangat kolaborasi dan keberlanjutan, BP CAI Wonosalam siap menjadi model perdagangan karbon berkelanjutan.
**) Prof. Dr. Ir. Sudarsono, [M.Sc](http://M.Sc) adalah Ketua DPP LDII yang juga sekaligus Kepala Bidang Bioteknologi Tanaman dan Koordinator Lab. Biologi Molekuler Tumbuhan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor