Jakarta (31/5). Dalam rangka memperingati Hari Bumi ke-55, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) menyelenggarakan webinar bertajuk “Pengenalan Jejak Karbon dan Cadangan Karbon dalam Upaya Mengatasi Perubahan Iklim” pada Sabtu (31/5). Kegiatan ini sebagai komitmen LDII dalam mendukung edukasi lingkungan dan mitigasi perubahan iklim.
Webinar ini menghadirkan Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Irawan Asaad. Ia menyampaikan pentingnya kesadaran kolektif dalam menanggulangi dampak perubahan iklim, terutama dari sisi individu dan organisasi.
Dalam paparannya, Irawan mengapresiasi inisiatif LDII yang telah melibatkan masyarakat, khususnya ormas Islam, dalam upaya edukasi lingkungan. Ia menyatakan bahwa peran ormas sangat strategis dalam menyebarkan pemahaman tentang perubahan iklim dan mendorong gaya hidup rendah emisi.
“LDII telah menunjukkan peran strategisnya dalam menyuarakan isu perubahan iklim. Edukasi seperti ini sangat diperlukan untuk mendorong gaya hidup rendah emisi di masyarakat,” ujar Irawan.
Ia menjelaskan bahwa efek rumah kaca menyebabkan panas terperangkap di atmosfer bumi, memicu naiknya suhu global secara signifikan. “Perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca, baik yang bersifat alami maupun yang dihasilkan dari aktivitas manusia,” ungkapnya.
Indonesia sebagai negara kepulauan, lanjutnya, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. “Dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia menghadapi ancaman nyata seperti naiknya permukaan air laut, kebakaran hutan, kerusakan ekosistem darat dan laut, serta bencana hidrometeorologis,” tambahnya.
Irawan mengutip Surat Ar-Rum ayat 41 untuk menekankan tanggung jawab manusia terhadap kerusakan lingkungan. “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat perbuatan manusia. Ini bukan hanya isu lingkungan, tapi juga amanah spiritual yang harus dijaga,” tegasnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan dalam webinar ini adalah pemahaman dan penghitungan jejak karbon (carbon footprint). Ia menyebutkan bahwa jejak karbon bisa dihitung dari skala individu hingga negara, termasuk dari aktivitas rumah tangga, industri, organisasi, bahkan dari sebuah produk.
“Jejak karbon adalah ukuran dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung,” jelas Irawan.
Untuk mendukung hal ini, KLH telah mengembangkan aplikasi perhitungan jejak karbon. Aplikasi tersebut bertujuan untuk membantu masyarakat mengetahui dan menghitung emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai aktivitas, dengan harapan masyarakat terdorong untuk mengubah gaya hidupnya menjadi lebih ramah lingkungan.
Dalam konteks global, Irawan menyebut bahwa pada tahun 2023 Indonesia menempati urutan ke-6 sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah Tiongkok yang berada di posisi pertama. Meski menjadi salah satu negara terdampak paling serius, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam penurunan emisi global.
Ia menegaskan bahwa Indonesia telah menunjukkan komitmen serius dengan menjadi bagian dari Paris Agreement, perjanjian internasional yang bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga di bawah 1,5 derajat celcius. “Pemerintah Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi melalui Nationally Determined Contribution (NDC), serta menerbitkan berbagai regulasi, termasuk UU dan peraturan menteri, guna mempercepat implementasinya,” jelasnya.
Dalam penutup, Irawan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk aktif berperan dalam pengendalian perubahan iklim. “Rasulullah bersabda, jika terjadi kiamat, sementara di tangan seseorang ada tunas tanaman, maka tanamlah jika masih sempat. Ini menggambarkan bahwa sekecil apa pun aksi kita untuk lingkungan, tetap memiliki makna besar,” tutupnya.
Alhamdulillah bisa terus beramal solih untuk kebaikan bumi Indonesia..