Kediri (29/5). Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII) menyelenggarakan Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sebagai upaya konkret mewujudkan lingkungan yang aman, nyaman, dan menyenangkan pada satuan pendidikan seperti sekolah dan pesantren.
Kegiatan ini berlangsung di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, pada Sabtu (24/5), dan diikuti secara hibrid oleh para pendidik, pengelola pesantren, serta perwakilan lembaga pendidikan di bawah naungan LDII.
Pelatihan TPPK turut dihadiri oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur (UPT TIKP Dindik Jatim), Mustakim. Dalam kesempatan tersebut, Mustakim membawakan materi bertema “Strategi Penguatan Karakter Luhur Melalui Pendidikan”.
Dalam pemaparannya, Mustakim menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan proses penting dalam membentuk akhlak mulia peserta didik, berdasarkan nilai-nilai moral dan ajaran agama. Menurutnya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh capaian akademik, tetapi juga oleh karakter yang kuat dan seimbang.
“Kesalehan itu tidak hanya kesalehan sosial, tetapi juga kesalehan ritual,” tegasnya. Ia merujuk pada misi kerasulan Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, sebagaimana sabda beliau: “Innama bu’istu liutammima makarimal akhlak” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).
Lebih lanjut, Mustakim menyoroti pentingnya lembaga pendidikan, khususnya yang dikelola oleh organisasi keagamaan seperti LDII, untuk memberikan perhatian serius pada pembentukan karakter peserta didik. Ia menekankan bahwa keseimbangan antara kesalehan sosial dan kesalehan spiritual merupakan fondasi penting dalam membentuk generasi berakhlak.
Dalam pelatihan tersebut, Mustakim juga memperkenalkan empat pilar pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, Integritas: mencakup nilai kejujuran dan tanggung jawab sebagai lawan dari sifat munafik. Kedua, Etos Kerja: meliputi disiplin, kerja keras, dan kemandirian, yang dinilai krusial dalam menghadapi tantangan masa depan menuju Indonesia Emas 2045. Ketiga, Kepedulian: mencerminkan empati, semangat gotong royong, serta ajaran Islam untuk saling membantu dalam kebaikan. Keempat, Kewarganegaraan: mencakup nasionalisme, cinta tanah air, dan toleransi dalam konteks kebhinekaan bangsa Indonesia.
Tak hanya itu, Mustakim juga menggarisbawahi pentingnya penerapan disiplin positif dan budaya sekolah yang membangun. Ia mengingatkan bahwa pendekatan kekerasan dalam mendidik anak didik sudah tidak relevan. “Dulu, hukuman bersifat fisik. Sekarang, pendekatan disiplin harus bersifat edukatif. Sistem penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) harus membangun dan memotivasi anak untuk berkembang lebih baik,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menumbuhkan cita-cita dan semangat berprestasi sejak dini. Mustakim mengutip teori psikologi sosial dari David McClelland mengenai need for achievement, yang menekankan bahwa anak-anak yang memiliki tujuan dan impian akan lebih termotivasi untuk berusaha maksimal dalam mencapainya.
Dalam perspektif Islam, semangat ini sejalan dengan pepatah: “At-thoiru yatiru bijanahaihi, wal insanu yatiru bihimmatihi”. (Artinya: Burung terbang dengan kedua sayapnya, manusia terbang dengan semangat dan cita-citanya).
Menutup pemaparannya, Mustakim menyampaikan apresiasi tinggi kepada LDII atas komitmen dan konsistensinya dalam memajukan dunia pendidikan. Ia menilai pelatihan ini merupakan bukti nyata kontribusi LDII yang sejajar dengan organisasi keagamaan besar lainnya seperti Nahdlatul Ulama (NU) dengan lembaga pendidikan Ma’arif, serta Muhammadiyah dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengahnya.
Bahkan, ia optimis bahwa LDII memiliki potensi besar untuk berkembang lebih pesat dan memberikan dampak signifikan bagi dunia pendidikan di masa depan.