Jakarta (10/8). Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok semakin terlihat di tengah tantangan lahan pertanian yang menyempit. Menurut Dosen Politeknik Negeri Tanah Laut (Politala), yang juga Ketua DPD LDII Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Anton Kuswoyo, menjelaskan sorgum bisa jadi solusi yang inovatif.
“Sorgum bisa menjadi solusi krisis pangan ke depan. Karena tanamannya kuat, tidak manja, bisa tumbuh di tanah kering, dan hasil panennya serbaguna,” kata Anton. Ia menggagas budidaya sorgum di lahan pascatambang batubara sebagai langkah nyata menuju diversifikasi pangan nasional.
Ia menerangkan, menurut Kementerian Pertanian, setiap tahun Indonesia kehilangan sekitar 650 ribu hektare lahan sawah. Padahal, lebih dari 97 persen masyarakat mengandalkan beras sebagai makanan pokok. Kondisi ini membuat diversifikasi pangan menjadi langkah yang tidak bisa ditunda lagi. “Saya melakukan riset di lahan bekas tambang batubara seluas satu hektare di Kabupaten Tanah Laut. Lokasi ini sebelumnya tidak produktif, namun kini menjadi tempat tumbuh suburnya sorgum,” terang Anton yang kini sedang menempuh studi doktoral di IPB University.
Anton menceritakan, Kabupaten Tanah Laut dikenal sebagai daerah penghasil jagung. Karakteristik tumbuhan jagung mirip dengan sorgum, salah satu alasan inilah yang mendorongnya untuk mulai melakukan riset. “Budidaya sorgum terbilang lebih mudah daripada padi, karena tidak memerlukan irigasi khusus. Selain sebagai pangan, sorgum juga bisa digunakan untuk pakan ternak. Saya meneliti kombinasinya pakan ternak sorgum dengan indigofera dan limbah pertanian untuk pakan kambing dan sapi.
Ia menjelaskan, sorgum bisa menjadi solusi realistis karena banyak manfaat yang terkandung di dalamnya. Manfaat lain dari sorgum adalah menjadi pengganti nasi bagi penderita diabetes. Meski kandungan kalori dalam sorgum hampir sama dengan beras, tetapi bebas gluten, tinggi serat dan memiliki indeks glikemik yang rendah.
“Selain itu sorgum memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibanding beras maupun jagung. Meski rasanya berbeda dengan nasi tapi khasiatnya jauh lebih baik untuk kesehatan,” jelas mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB University.

Anton menilai konsumsi sorgum masih rendah karena rasa dan tekstur yang belum familiar di lidah masyarakat Indonesia. “Perlu adaptasi rasa. Tapi dengan mengembangkan produk olahan seperti mie, kue, bahkan gula dari sorgum, saya yakin penerimaan masyarakat akan meningkat,” ungkapnya.
“Kampanye soal sorgum harus masif, apalagi sekarang zamannya media sosial. Selain itu ketersediaan produk juga menjadi fokus, jangan sampai masyarakat ingin mencoba tapi tidak tahu harus beli di mana,” ujarnya.
Anton mendorong dibentuknya kebun percontohan sorgum yang dapat menjadi pusat edukasi sekaligus produksi. Ia berharap sorgum bisa dimasukkan ke dalam program riset prioritas nasional yang melibatkan BRIN dan perguruan tinggi, serta bermitra dengan industri agar hasil penelitian bisa segera dimanfaatkan masyarakat.
“Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan sekaligus pakan ternak, Indonesia memiliki peluang untuk membangun kemandirian pangan secara menyeluruh. Dari karbohidrat hingga protein hewani,” tuturnya.
Ia menegaskan, sorgum bisa menjadi pilar utama ketahanan pangan nasional jika ditangani dengan baik. Perlu keseriusan dan kerja sama yang baik antar lintas sektor untuk mewujudkan mimpi besar tersebut. (Nabil)