Jakarta (28/5). Pondok Pesantren (Ponpes) Minhajurrosyidiin menjadi tuan rumah penganugerahan Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kategori penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Disabilitas terbanyak di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Penghargaan MURI diberikan Customer Manajer MURI Bryan Razu Ramadan kepada Ketua Umum PP MDI KH. Choirul Anam, Selasa (27/5).
Total peserta MTQ ini mencapai 112 orang yang meliputi Jawa Barat, Banten dan Daerah Khusus Jakarta. Acara ini turut dihadiri Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) KH Chriswanto Santoso dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) TB Ace Hasan Syadzily.
KH Chriswanto mengapresiasi penyelenggaraan MTQ disabilitas di Ponpes Minhajurrosyidiin. Menurutnya, ini menjadi bukti kolaborasi yang apik antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di bidang pendidikan inklusif.
“Ini sinergitas yang cantik menurut saya, melakukan sesuatu kegiatan sosial yang luar biasa. Karena tugas membangun kesejahteraan masyarakat, bukan hanya tugas negara saja,tapi sinergisitas juga penting,” ujarnya.
KH Chriswanto menyoroti pentingnya pendidikan karakter yang dimulai dengan membangun kedisiplinan. Ia mengatakan, pondok-pondok di bawah naungan LDII mengimplementasikan 29 karakter luhur yang menjadi sasaran untuk mendidik santri. Sebab itu, pondok-pondok LDII menjauhi pendidikan yang bersifat militeristik.
“Karena dengan pendidikan militeristik saya khawatir yang akan muncul justru adalah pendidikan kekerasan. Bukan berarti saya tidak setuju ada pendidikan di barak militer, tapi di pondok kami memang pendidikan militeristik sengaja kita kurangi dan pendidikan disiplin yang kita bangun,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Lemhanas, TB Ace Hasan Syadzily juga mengapresiasi MTQ Disabilitas dan penghargaan MURI tersebut. Ini menunjukkan bahwa dengan tekad yang kuat siapapun dapat menjadi seorang penghafal Al-Quran. Kitab suci umat Islam itu mudah dipelajari, termasuk oleh warga dengan kebutuhan khusus, atau disabilitas.
“Kegiatan ini layak mendapatkan rekor MURI. Ini menunjukan MTQ bisa dilakukan siapa saja, termasuk oleh kelompok disabilitas. Ternyata kemampuan mereka untuk menghafal Al-Quran itu jauh lebih baik,” ujarnya.
Ace juga menyoroti pentingnya pendidikan yang didasari pada aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Ia mengapresiasi LDII dan Ponpes Minhajurrosyidin yang mengedepankan aspek kedisiplinan untuk membentuk karakter anak didik.
“Pilihan pembangunan karakter seseorang itu menurut kami bukan hanya dilakukan melalui proses pendidikan yang sifatnya militeristik, tetapi juga bisa dibangun dengan kedisiplinan seperti yang dilakukan Ponpes Minhajurrosyidiin ini. Jadi kalau bagi kami, tidak ada anak nakal. Yang membuat anak berperilaku tidak sebagaimana mestinya itu disebabkan karena lingkungan,” ujarnya.
Penyelenggaraan MTQ disabilitas yang diselenggarakan MDI tidak hanya melibatkan penyandang tuna netra saja, tapi juga melibatkan penyandang disabilitas lainnya. Ketum MDI, KH. Choirul Anam menjelaskan bahwa selama ini penyelenggaraan MTQ yang inklusif terhadap penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Sebab itu, keberanian MDI menyelenggarakan MTQ bagi beragam disabilitas merupakan terobosan progresif dalam sejarah dakwah Islam global.
“Seperti tadi ada anak autis, ke depan bahkan tuna wicara bisa kita ikutkan. Tantangannya kita belum punya format yang bagus seperti MTQ pada umumnya, katakanlah klasifikasi, sekarang itu hafalannya berapa hanya gunakan satu kategori saja,” ujarnya.
Selain penyerahan juara MTQ disabilitas dan penghargaan MURI, acara Selasa malam juga menjadi puncak peringatan Milad MDI ke-47. MDI melaunching dua lagu tentang misi dakwah MDI dan tentang pengabdian kepada Partai Golkar.
“Saya kira ini juga memperkokoh semangat ukhuwah, semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” pungkas KH. Choirul Anam.