(Jejak Sunyi Para Kekasih Allah)
Oleh Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Kehidupan terus bising oleh frekuensi tuntutan dunia. Semakin hari semakin riuh – rendah. Berkelindan. Merendahkan eksistensi dan esensi manusia yang punya misi wajib beribadah. Oleh karena itu, Nabi ﷺ mewariskan kepada umatnya amalan spesial. Bukan wajib tetapi sangat menentukan. Ini bukan sebagai ritual tambahan, tetapi sebagai jalan rahasia menuju kedekatan dengan Allah. Satu ibadah yang tetap berdiri sebagai mercu suar keheningan: qiyāmul-lail, shalat malam.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Umāmah al-Bāhilī, Rasulullah ﷺ bersabda: “Kerjakanlah shalat malam. Sesungguhnya ia adalah kebiasaan orang-orang salih sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Tuhan kalian, penghapus kejelekan, dan pencegah perbuatan dosa.” (HR. Tirmidzi)
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:«عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَقُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلْإِثْمِ»— رواه الترمذي (حديث رقم 3549)، وقال: حسن صحيح.
Hadis ini mengandung empat ajaran penuh makna: tradisi kesalehan, kedekatan spiritual, pembersihan jiwa, dan penjagaan diri dari keburukan. Bila satu hadis yang mengampu seluruh perjalanan ruhani seorang hamba yang paripurna, maka inilah salah satunya.
Wahai jiwa-jiwa yang jernih, Qiyāmul-lail bukan kebiasaan biasa. Ia adalah jejak orang-orang saleh dari generasi ke generasi. Para nabi, para sahabat, dan para imam besar, salafus shalih—mereka semua menempuh malam dengan hati yang terjaga. Seolah tradisi yang turun – temurun. Hasan al-Bashri pernah berkata: “Tidak ada suatu ibadah yang paling berat bagi jiwa dan paling dicintai Allah selain shalat malam. Orang-orang salih dahulu menjadikannya pelindung diri dan penyejuk hati.”
Bagi para penekun kehidupan, malam bukan sekadar waktu tidur. Ia adalah ruang perjumpaan; ketika dunia diam, hati berbicara. Ruang rindu bagi para pecinta untuk bertemu Sang Kekasih. Ibn al-Qayyim menegaskan: “ Tidak ada perjalanan yang lebih mulia daripada perjalanan seorang hamba menuju Allah di tengah malam.” Saat sebagian besar manusia terlelap, segelintir hamba bangun membawa beban dosa, harapan, dan cinta. Mereka mengetuk pintu langit pada saat paling hening—dan pintu itu tak pernah tertutup.
Ingatlah wahai jiwa-jiwa yang suci, ketika seseorang berdoa di siang hari, ia dekat. Tapi ketika ia bangun di malam hari, Allah lebih dekat lagi. Ketika seseorang beristighfar di siang hari, ia menghamba. Tapi ketika ia bangun di malam hari, Allah lebih cepat lagi meraihnya. Dalam hadis qudsi disebutkan: “ Rabb kalian turun ke langit dunia setiap malam, lalu berfirman: ‘Adakah yang berdoa, Aku kabulkan? Adakah yang meminta, Aku beri? Adakah yang memohon ampun, Aku ampuni?’” (HR. Bukhari & Muslim)
وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ
“Dan pada akhir malam, mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS Adz-Dzariyat:18)
Inilah waktu paling indah untuk merendahkan diri. Sebab di waktu sahur, tak ada yang tersisa kecuali kejujuran—tanpa tepuk tangan, tanpa penilaian manusia, hanya antara seorang hamba dan Tuhannya. Ibrahim ibn Adham berkata: “Orang yang merindukan Allah akan rindu menemui-Nya dalam keheningan malam.” Qiyamul lail adalah ruang perjumpaan itu. Ruang rindu memadu kasih dan harapan.
Duhai jiwa-jiwa yang merindu, hati yang setiap hari berlumuran salah membutuhkan ruang bersihkan diri. Qiyāmul-lail adalah salah satu sarana penyucian itu. Shalat malam menghapus kesalahan kecil, merontokkan debu-debu maksiat yang tidak terasa menumpuk di jiwa. Melunturkan seperti embun yang turun tanpa terasa. Dingin menyejukkan.
Seorang tabi‘i, Abu Sulaiman ad-Darāni berkata: “Kelezatan qiyāmul-lail lebih manis daripada semua nikmat dunia. Seandainya tidak ada malam, aku tidak ingin hidup.” Perkataan ini bukan hiperbola. Ia lahir dari hati yang merasakan kebersihan luar biasa setelah sujud panjang. Nabi ﷺ juga bersabda: “Lakukanlah shalat malam, karena shalat malam itu menghapus dosa dan menjauhkan dari penyakit tubuh.” (HR. Tirmidzi) Penyakit yang dimaksud bukan hanya fisik, tetapi penyakit hati—riya, sombong, dengki, gundah.
Semangatlah jiwa-jiwa yang merdeka, shalat malam bukan hanya menghapus dosa; ia juga mencegah hamba dari jatuh kembali. Dalam dosa dan kemaksiatan. Karena siapa yang melunakkan hatinya di hadapan Allah pada malam hari, akan kuat menahan godaan di siang hari. Sufyan ats-Tsauri —ulama besar ahli zuhud—pernah berkata: “Aku sulit bangun malam karena satu dosa yang kulakukan.” Ini menunjukkan betapa halus hubungan antara kebersihan hati dan kemampuan berdiri di malam hari. Bila qiyāmul-lail terasa berat, mungkin ada yang perlu disucikan.
Ibn Abbas berkata: “Kemuliaan seorang mukmin ada pada qiyāmul-lail.” Sebab ia melahirkan wajah yang teduh, hati yang lembut, dan jiwa yang lapang. Allah sendiri memuji para ahli malam: “Lambung mereka jauh dari tempat tidur…” (QS. As-Sajdah: 16) Mereka adalah para kekasih Allah, walaupun kita tak mengenal nama mereka.
Pada akhirnya, wahai jiwa-jiwa yang lembut penuh kasih, qiyāmul-lail bukan kewajiban, tetapi ia seperti undangan lembut dari Allah kepada hamba yang ingin lebih dekat. Ia seperti bisikan: “Datanglah kepada-Ku, ketika dunia tertidur. Aku menunggumu.” Mau kan? Dan siapa yang menjemput malam seperti itu, hidupnya akan berbeda: lebih jernih, lebih lembut, lebih kuat, dan lebih damai. Semoga Allah menjadikan kita bagian dari para pejalan sunyi ini. Aamiin.












