Jakarta (24/8). DPP LDII menyelenggarakan Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) di Grand Ball Room Minhajurosyidin, Jakarta, pada Sabtu (23/8/2025). Acara ini menghadirkan Gubernur Lemhannas RI, TB. Ace Hasan Syadzily, yang memaparkan materi bertema “Media Siber dan Ketahanan Nasional dalam Menghadapi Geopolitik Global.”
Dalam paparannya, Ace menjelaskan perkembangan geopolitik global saat ini mengalami pergeseran dari tatanan unipolar menuju multipolar. Persaingan utama terjadi antara Amerika Serikat-Uni Eropa berhadapan dengan kekuatan China dan Rusia. Rivalitas ini memicu konflik Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, serta ketegangan di kawasan Indo-Pasifik dan Timur Tengah.
Di bidang geoekonomi, Ace menyoroti kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang memicu kenaikan tarif dan inflasi global, serta ketidakstabilan pasar. Sementara itu, China melalui program Belt and Road Initiative (BRI) telah menghubungkan 149 pelabuhan dunia dengan nilai investasi mencapai USD 1 triliun, yang mempercepat pertumbuhan sejumlah negara berkembang.
Ia menjelaskan situasi geopolitik global saat ini penuh ketidakpastian, terutama setelah terpilihnya kembali Presiden Trump di Amerika. Kebijakan “America Great Again” membuat banyak negara, termasuk Indonesia, harus menghadapi rivalitas ekonomi dan politik global. Hal ini berimbas pada perdagangan internasional, rantai pasok, hingga ketahanan energi dan pangan.
Ace juga menyoroti kebangkitan Tiongkok dengan Belt and Road Initiative yang menguasai pasar global, konflik Rusia–Ukraina yang mengganggu pangan dan energi, serta konflik Israel–Palestina yang belum berakhir. Semua itu memperlihatkan bahwa rivalitas global bukan hanya soal militer, tetapi juga soal ekonomi, teknologi, dan opini publik global yang kini banyak dipengaruhi media sosial dan algoritma digital.
Menurutnya, Indonesia sangat beruntung karena kaya sumberdaya alam dan memiliki bonus demografi. Namun, tantangannya adalah bagaimana mengelola potensi tersebut agar mandiri, tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain. Ia menekankan pentingnya kemandirian pangan, energi, dan industri nasional.
Ketahanan nasional, kata Ace, bukan sekadar soal militer, tetapi mencakup delapan aspek: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, demografi, geografi, kekayaan alam, dan pertahanan. Ia mengingatkan agar Pancasila terus diperkuat, politik dijalankan dengan bersih, ekonomi dikembangkan secara mandiri, serta masyarakat diberi literasi digital untuk menangkal disinformasi.
Ace juga memaparkan berbagai konflik regional yang memberi dampak signifikan pada stabilitas global. Konflik Rusia-Ukraina telah mengganggu rantai pasok dunia, sementara konflik Israel-Palestina masih menyisakan masalah relokasi warga Gaza dan kekerasan di Tepi Barat. Ia juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo yang menegaskan Indonesia siap mengakui Israel apabila Palestina terlebih dahulu diakui oleh Israel. Selain itu, ketegangan Iran-Israel turut memicu lonjakan harga minyak dunia dan risiko inflasi global.
Menurut Ace, dunia saat ini bergerak menuju tatanan global baru atau policentric world order, di mana tidak ada lagi satu hegemoni tunggal yang mendominasi. Faktor-faktor seperti hard power, soft power, opini publik digital, algoritma media sosial, budaya populer, hingga peran institusi pendidikan menjadi penentu utama dinamika global.
Ace menekankan Indonesia memiliki keunggulan strategis dengan kekayaan biodiversitas, hutan tropis terbesar ke-8 di dunia, sumber daya alam melimpah, dan keragaman budaya. Letak geografis Indonesia yang berada pada titik persilangan ekonomi dunia semakin memperkuat posisi penting bangsa ini. Karena itu, generasi muda perlu memiliki geo-consciousness, yaitu kesadaran geopolitik untuk menjaga kedaulatan negara.
Ia juga menegaskan ketahanan nasional harus dipahami sebagai kondisi dinamis bangsa dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Dimensi ketahanan nasional mencakup ideologi, politik, ekonomi, hankam, sosial budaya, geografi, dan demografi. “Membangun ketahanan nasional merupakan proyek besar bangsa yang harus melibatkan seluruh komponen masyarakat,” ujarnya.
Ace menambahkan, terdapat sejumlah tantangan utama yang dihadapi bangsa saat ini, seperti rivalitas Indo-Pasifik, ancaman siber dan disinformasi global, krisis pangan, energi, dan iklim, serta gerakan separatisme dan terorisme transnasional. Di era digital yang serba tanpa batas, konsumsi informasi yang tidak terkurasi juga dapat menggerus rasa nasionalisme.
Ia juga menegaskan perlunya optimisme. Indonesia harus yakin bisa menjadi negara besar jika mampu memanfaatkan bonus demografi, kekayaan alam, serta menjaga persatuan. Ketahanan nasional adalah tanggung jawab semua pihak, bukan hanya pemerintah dan TNI-Polri, tetapi juga masyarakat sipil termasuk LDII.
Dalam konteks ini, ia menilai ormas Islam seperti LDII memiliki peran strategis dalam memperkuat ketahanan nasional. Di antaranya dengan meningkatkan literasi digital masyarakat, menjaga keamanan siber, memperkuat nilai kebangsaan, menangkal hoaks dan ujaran kebencian, serta menyebarkan optimisme untuk kemajuan bangsa.
“Ketahanan nasional adalah tanggung jawab bersama. Infiltrasi ideologi transnasional harus diwaspadai. Keberagaman kita adalah kekayaan yang harus dijaga agar Indonesia siap menyongsong masa depan yang berdaulat, maju, dan cerah,” pungkas Ace.