Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
(Pelajaran dari Sebuah Pohon dan Dua Dinar)
Di dalam kefahaman benak para pencari Tuhan, khususnya mencermati dinamika perjalanan iman, niat adalah ruh dari setiap amal. Ia adalah dasar yang membedakan antara ibadah dan riya, antara cinta kepada Allah dan ketundukan pada dunia. Jangankan hamba biasa, para nabi dan rasul sebagai diri yang dekat dengan Allah pun masih diperingatkan dan terkena ancaman, jika tidak bisa menjaga niat.
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Dan niscaya sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang (para nabi) sebelummu, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Az-Zumar:65)
Sebuah kisah yang diriwayatkan oleh ulama terdahulu memberi gambaran yang sangat halus sekaligus menakutkan tentang bagaimana niat bisa berubah. Bahkan tanpa kita sadari. Masih merasa sama seperti dulu. Benar terus niatnya, tulus, padahal sudah berubah. Diambil dari Talbīs Iblīs karya Ibn al-Jawzī, simaklah kisah indah penuh hikmah berikut.
قَالَ الحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ:”كَانَتْ شَجَرَةٌ تُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ، فَجَاءَ إِلَيْهَا رَجُلٌ، فَقَالَ: لَأَقْطَعَنَّ هٰذِهِ الشَّجَرَةَ غَضَبًا لِلَّهِ. فَلَقِيَهُ إِبْلِيسُ فِي صُورَةِ إِنْسَانٍ، فَقَالَ: مَا تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَنْ أَقْطَعَ هٰذِهِ الشَّجَرَةَ الَّتِي تُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ. قَالَ: إِذَا أَنْتَ لَمْ تَعْبُدْهَا، فَمَا يَضُرُّكَ مَنْ عَبَدَهَا؟ قَالَ: لَأَقْطَعَنَّهَا.فَقَالَ لَهُ الشَّيْطَانُ: هَلْ لَكَ فِيمَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ؟ لَا تَقْطَعْهَا، وَلَكَ دِينَارَانِ كُلَّ يَوْمٍ إِذَا أَصْبَحْتَ عِنْدَ وِسَادَتِكَ. قَالَ: فَمِنْ أَيْنَ لِي ذٰلِكَ؟ قَالَ: أَنَا لَكَ. فَرَجَعَ، فَأَصْبَحَ فَوَجَدَ دِينَارَيْنِ عِنْدَ وِسَادَتِهِ. ثُمَّ أَصْبَحَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَامَ غَضْبَانَ لِيَقْطَعَهَا. فَتَمَثَّلَ لَهُ الشَّيْطَانُ فِي صُورَتِهِ، وَقَالَ: مَا تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ قَطْعَ هٰذِهِ الشَّجَرَةِ الَّتِي تُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ تَعَالَى. قَالَ: كَذَبْتَ، مَا لَكَ إِلَىٰ ذٰلِكَ مِنْ سَبِيلٍ. فَذَهَبَ لِيَقْطَعَهَا، فَضَرَبَ بِهِ الْأَرْضَ وَخَنَقَهُ حَتَّىٰ كَادَ يَقْتُلُهُ، قَالَ: أَتَدْرِي مَنْ أَنَا؟ أَنَا الشَّيْطَانُ. جِئْتُ أَوَّلَ مَرَّةٍ غَضَبًا لِلَّهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِي عَلَيْكَ سَبِيلٌ، فَخَدَعْتُكَ بِالدِّينَارَيْنِ فَتَرَكْتَهَا، فَلَمَّا جِئْتَ غَضَبًا لِلدِّينَارَيْنِ سُلِّطْتُ عَلَيْكَ.”
Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang mengetahui adanya sebatang pohon yang disembah oleh sebagian orang, padahal tidak ada yang patut disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan amarah yang murni karena Allah, laki-laki itu bertekad menebang pohon tersebut. Ia pergi dengan hati penuh semangat iman, bermaksud memutuskan satu bentuk kesyirikan yang nyata.
Namun, setan datang menjelma sebagai manusia dan menghadangnya. “Apa yang ingin kau lakukan?” tanya setan. Lelaki itu menjawab, “Aku ingin menebang pohon yang disembah selain Allah.” Setan mencoba membelokkan tekadnya, “Kalau kau sendiri tidak menyembah pohon itu, mengapa harus peduli?” Tapi niat lelaki itu masih lurus. Ia tetap bersikeras: “Aku akan menebangnya.”
Melihat bahwa rayuan tak mempan, setan mengubah taktik. Ia berkata, “Aku akan memberimu sesuatu yang lebih baik. Jangan tebang pohon itu, dan setiap pagi, kau akan menemukan dua dinar di bawah bantalmu.” Lelaki itu bertanya curiga, “Dari siapa uang itu?” “Dariku untukmu,” jawab setan.
Tawaran dunia yang menggiurkan itu pun diterima. Esok paginya, ia benar-benar menemukan dua dinar seperti yang dijanjikan. Namun keesokan harinya, ia tidak menemukan apa pun. Merasa dibohongi, ia bangkit kembali dengan amarah dan niat untuk menebang pohon tersebut.
Setan kembali muncul dan berkata, “Apa yang hendak kau lakukan?” “Menebang pohon,” jawabnya. Kali ini setan tidak lagi bersilat lidah. Ia melawan dengan kekuatan dan menjatuhkan lelaki itu hingga nyaris mati. Lalu ia berkata, “Tahukah kau siapa aku? Aku adalah setan. Saat kau datang pertama kali dengan niat tulus karena Allah, aku tak mampu melawanmu. Namun ketika kau datang karena dua dinar, aku mampu mengalahkanmu.”
Betapa menggetarkan! Perubahan niat yang begitu halus, nyaris tak terasa, tapi membalik kekuatan seseorang secara total. Di awal, niatnya murni karena Allah. Namun saat niat itu bergeser demi keuntungan dunia, ruh amalnya hilang dan kekuatan spiritualnya pun lenyap.
Kisah ini bukan sekadar cerita lama dari zaman ulama salaf. Ini adalah cermin. Berapa banyak dari kita yang memulai sesuatu dengan tulus, namun di tengah jalan mulai mengharapkan pujian, pamrih, atau materi? Ketika amal diniatkan karena Allah, ia ringan dan penuh kekuatan. Tapi saat motivasinya bergeser, amal itu menjadi beban, bahkan bisa menjadi jerat.
Imam Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama besar, pernah berkata, “ Hal yang paling berat untuk aku luruskan adalah niatku. Ia terus berubah-ubah.” Ini menunjukkan betapa besar tantangan dalam menjaga keikhlasan. Bahkan bagi orang-orang yang ilmunya tinggi dan ibadahnya banyak, menjaga niat tetap lurus adalah ujian seumur hidup.
Ibnul Qayyim menambahkan, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang membawa kantong berisi pasir. Berat, tapi tak memberi manfaat.” Lebih lanjut, beliau juga berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, Allah tidak akan mencela para pendeta ahli kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, Allah tidak akan mencela orang-orang munafik.” Artinya, ilmu dan amal tanpa keikhlasan adalah jalan menuju kehancuran.
Apa yang bisa kita lakukan? Hanya satu: berdoa, terus-menerus memohon kepada Allah agar diberi kemampuan menjaga niat. Jangan merasa aman dari bahaya riya dan syirik kecil (seperti mengharap pujian). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan doa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun atas sesuatu yang tidak aku ketahui.”
مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ: انْطَلَقْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، لَلشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَهَلِ الشِّرْكُ إِلاَّ مَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهًا آخَرَ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ، أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى شَيْءٍ إِذَا قُلْتَهُ ذَهَبَ عَنْكَ قَلِيلُهُ وَكَثِيرُهُ؟ قَالَ: قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ.
Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa ia datang kepada Nabi ﷺ bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Abu Bakar, kesyirikan itu merasuki kalian semua lebih halus daripada gerakan semut.” Abu Bakar bertanya: “ Apakah ada bentuk syirik selain mempersekutukan Allah secara langsung?” Nabi ﷺ menjawab: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh syirik itu lebih samar daripada langkah semut. Maukah aku ajarkan kepadamu suatu doa, yang jika kau ucapkan, maka Allah akan menghilangkan syirik besar maupun kecil darimu?” Lalu beliau bersabda: “Ucapkanlah: Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu agar tidak mempersekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang tidak aku ketahui.” (HR Al-Bukhari, dalam Adab Al-Mufrad)
Kita harus rajin mengevaluasi diri: “Apakah amal ini murni karena Allah? Apakah aku tetap melakukannya kalau tidak ada yang melihat? Apakah aku kecewa jika tak mendapat pujian atau imbalan?” Pertanyaan-pertanyaan ini membantu kita menjaga niat tetap bersih.
Penjagaan terhadap niat adalah amal hati. Ia tidak terlihat orang lain, tapi Allah mengetahuinya. Dan di akhirat, itulah yang menjadi ukuran. Amal yang besar tak bernilai jika niatnya rusak, sementara amal yang kecil akan bercahaya, jika lahir dari hati yang ikhlas.
Kisah pohon dan dua dinar mengajarkan bahwa setan tak akan pernah berhenti mencari celah, bahkan pada niat paling suci. Jalan satu-satunya adalah memohon perlindungan kepada Allah dan menjaga hati sebaik-baiknya. Kita tidak bisa menjamin amal kita selamat dari riya, tapi kita bisa terus berdoa dan berusaha agar ikhlas menjadi nafas kita dalam beramal. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang lurus niatnya, bersih hatinya, dan kuat amalnya. Aamiin.
Jazakallah Khoiro.