Yogyakarta (17/11). Memperingati Hari Pahlawan 10 November, DPW LDII Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengangkat isu keberlanjutan lingkungan. Tema tersebut dipilih untuk mengingatkan generasi muda terkait perjuangan masa kini.
Di tengah suhu udara Yogyakarta yang kian panas, pola hujan yang berubah, dan meningkatnya potensi bencana ekologis, LDII DIY mendorong lahirnya “pahlawan hijau” dari kampung hingga pesantren. Gagasan itu muncul sebagai respon atas perubahan iklim, yang menuntut peran masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Ketua DPW LDII DIY, Atus Syahbudin, menyampaikan kepedulian terhadap lingkungan merupakan bagian dari tanggung jawab moral. Ia menekankan bumi sebagai amanah yang harus dijaga, dan momentum Hari Pahlawan menjadi pengingat pentingnya tindakan sederhana yang berdampak panjang.
“Pahlawan tidak selalu identik dengan pertempuran bersenjata, namun bisa hadir dalam bentuk warga yang merawat air, menanam pohon, atau mengelola sampah dengan benar,” ujarnya.
Atus menambahkan, inisiatif lingkungan berjalan masif melalui Program Kampung Iklim (ProKlim). Di Sleman, warga Kampung Sangurejo mengembangkan Jugangan Ing Omah (Jugangin Om) untuk menambah area resapan air. Mereka juga membangun sanggar ecoprint dan merintis healing village bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), LDII, Pramuka, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universiti Putra Malaysia di Kotagede, Rejowinangun.
“Mereka semua menggerakkan bank sampah yang memungkinkan warga menukar sampah plastik dengan sembako. Hal ini memperlihatkan program lingkungan dapat berdampak langsung pada kesejahteraan sosial,” ujarnya.
Di Gunungkidul, petani Pacarejo menanam ribuan pohon jati dan sengon melalui program “kebun karbon”. Mereka menggali biopori dan merawat sumur resapan untuk mengurangi emisi serta menjaga ketersediaan air.
“Di Desa Sumbergiri contohnya, limbah pertanian diolah kembali menjadi biochar untuk memperbaiki struktur tanah yang kering. Beragam inisiatif tersebut menunjukkan adaptasi masyarakat pedesaan terhadap tekanan iklim yang makin kuat,” ungkapnya.
Gerakan lingkungan juga tumbuh di dunia pesantren. Ponpes Krapyak Yayasan Ali Maksum menjalankan program Krapyak Peduli Sampah sejak 2023 dengan pendekatan 3R. Ponpes Kutubus Sittah Mulyo Abadi Sleman memanfaatkan halaman pesantren menjadi ruang hijau.
“Pola pembinaan di pesantren memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai ekologis melalui pendekatan moral, spiritual, dan kedisiplinan santri,” katanya.
Atus menjelaskan pesantren dapat memperkuat gerakan lingkungan berbasis komunitas. Ia melihat gerakan zero waste dan efisiensi air di pesantren menjadi contoh baik adaptasi iklim yang berakar pada nilai agama. Ia menyebut santri harus dilatih mengamalkan ajaran Islam yang melarang kerusakan, bukan hanya memahaminya di kelas.
“Santri yang terbiasa memilah sampah, menanam pohon, dan menghemat air wudhu, menurutnya, menjadi cerminan pahlawan hijau generasi sekarang,” tambahnya.
Ia juga menyoroti peran kelompok masyarakat yang sudah aktif menggerakkan isu lingkungan, seperti FNKSDA, Kader Hijau Muhammadiyah, GEMILANG LDII, serta berbagai komunitas ekologis lainnya.
“Menurut kami, mereka memberi kontribusi melalui program konservasi, pendidikan lingkungan, hingga kampanye gaya hidup berkelanjutan. Kami menilai keberadaan mereka memperkaya kolaborasi lintas kelompok dalam menjaga ruang hidup bersama,” ungkap Atus.
LDII DIY berharap sinergi antara ProKlim, pesantren, masyarakat, dan pemerintah daerah dapat semakin solid. Atus menyampaikan jika setiap rumah, kampung, dan pesantren bergerak bersamaan, ketahanan iklim dapat terbangun lebih cepat. “Kami mengajak masyarakat menjadikan peringatan Hari Pahlawan sebagai dorongan untuk bertindak, sebab perlindungan lingkungan hanya bisa terwujud lewat komitmen kolektif,” tutupnya.












