Jakarta (16/12). Wakil Ketua Majelis Pelayanan Kesejahteraan Sosial (MPKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Faozan Amar, menegaskan Muhammadiyah memandang Pancasila sebagai darul ahdi wa al-syahadah. Pengertian tersebut merujuk Pancasila sebagai konsensus nasional sekaligus tempat pembuktian dan kesaksian umat Islam dalam membangun bangsa.
Faozan Amar yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) menegaskan hal tersebut saat menjadi pemateri dalam Sarasehan Kebangsaan LDII di Kantor DPP LDII, Jakarta, Selasa (16/12).
“Di Muhammadiyah, Pancasila dipahami sebagai darul ahdi wa al-syahadah, yang mencakup negara sebagai konsensus nasional, tempat pembuktian pengamalan Pancasila, dan juga sebagai negara yang aman dan damai,” kata Faozan.
Ia menjelaskan, secara terminologi darul ahdi wa al-syahadah mengandung makna bahwa seluruh umat Islam harus berkomitmen menjadikan Pancasila, sebagai ruang untuk bersaksi dan membuktikan diri melalui kerja nyata dalam kehidupan kebangsaan. “Pancasila adalah kesepakatan final dan mengikat seluruh elemen bangsa,” ujarnya.
Menurut Faozan, Muhammadiyah telah menetapkan konsep tersebut sebagai keputusan Muktamar ke-47 di Makassar pada 2015. “Bagi Muhammadiyah, Negara Pancasila tidak hanya ideal dan Islami, tetapi juga merupakan darul ahdi wa al-syahadah yang harus dipahami dan dipraktikkan,” tegasnya.
Ia menyebut konsep tersebut sebagai bentuk jihad kebangsaan Muhammadiyah. “Sejak awal, Muhammadiyah bersungguh-sungguh mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan karena nilai-nilai dasar Pancasila sejalan dengan ajaran Islam,” katanya.
Faozan menilai nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan dalam Pancasila merupakan cerminan ajaran Islam yang berorientasi pada kemaslahatan. “Keduanya saling melengkapi dan tidak bertentangan,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya mengisi kemerdekaan dengan kerja nyata. “Setelah Indonesia merdeka, seluruh elemen bangsa harus mengisi negara ini agar menjadi negara yang maju, makmur, adil, dan bermartabat,” katanya.
Faozan menyinggung soal perilaku warga negara sebagai cerminan pengamalan Pancasila. “Orang Indonesia kalau ke Singapura bisa tidak buang sampah sembarangan. Artinya, persoalannya bukan kemampuan, tapi kesadaran dan keteladanan,” ujarnya.
Dalam konteks persatuan, ia mengingatkan pentingnya ukhuwah. “Ada tiga jenis persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Dengan keberagaman Indonesia yang sangat besar, ukhuwah menjadi kunci persatuan NKRI,” katanya.
Ia mencontohkan praktik konkret pengamalan Pancasila di Muhammadiyah. “Kotak amal masjid Muhammadiyah disalurkan kepada korban bencana alam. Ini bagian dari spirit rohaniyah untuk membantu sesama,” ujarnya.
Faozan juga menguraikan nilai-nilai setiap sila Pancasila, mulai dari tauhid dan toleransi dalam Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap martabat manusia dalam Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, hingga gotong royong dan keadilan sosial. “Keadilan sosial diwujudkan dengan menghormati hak orang lain, bekerja keras, dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban,” katanya.
Dalam bidang politik, Faozan menegaskan warga Muhammadiyah tidak boleh apatis. “Warga Muhammadiyah harus berpartisipasi secara positif dengan menegakkan amanat, keadilan, kejujuran, serta menjadikan politik sebagai sarana ibadah dan kemaslahatan umat dan bangsa,” tegasnya.
Ia menutup dengan menekankan pentingnya pengamalan nilai kebangsaan secara berkelanjutan. “Perlu terus disosialisasikan empat pilar kebangsaan, digalakkan seminar dan dialog kebangsaan, serta ditunjukkan keteladanan para pemimpin dalam mengamalkan Pancasila,” pungkas Faozan. (Nisa)

