Oleh: Thonang Effendi
Pagi itu halaman masjid majelis taklim terlihat semarak. Sekelompok anak kecil, usia PAUD hingga kelas awal SD, sibuk membantu panitia Idul Adha. Ada yang membawa ember, ada yang menggulung selang, dan tak sedikit yang dengan riang berfoto sambil mengelus kepala kambing yang akan dikurbankan. Mereka bukan hanya datang sebagai penonton. Mereka datang sebagai peserta, lebih dari itu, sebagai pemilik.
Para anak cabe rawit itu adalah peserta program “Kurban Patungan Cabe Rawit”. Selama sebelas bulan terakhir, mereka menabung dengan menyisihkan sebagian uang saku harian. Jumlahnya memang kecil, kadang hanya seribu atau dua ribu rupiah. Tapi semangatnya besar. Setiap bulan, mereka menyetor tabungan kurban ke bendahara yang ditunjuk. Di akhir tahun, uang itu dikumpulkan, dibelikan satu ekor kambing, dan disembelih atas nama bersama. Di situlah letak nilai besar dari sebuah proses.
Peristiwa kecil ini ternyata menyimpan makna besar. Di tengah kehidupan yang semakin instan dan konsumtif, anak-anak itu belajar makna kesabaran, ketekunan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Mereka menahan keinginan jajan demi menabung untuk berkurban. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bukan dari memiliki sendiri, tapi dari memberi dan berbagi.
Dari peristiwa sederhana itu, kita bisa melihat bagaimana semangat berkurban bisa dibumikan sejak usia dini. Proses ini bukan hanya menumbuhkan karakter religius, tetapi juga membentuk jiwa sosial, empati, dan solidaritas. Anak-anak tidak hanya tahu tentang Idul Adha, tapi benar-benar menghidupinya.
Dalam perspektif pendidikan karakter, pengalaman ini mencerminkan apa yang disebut Thomas Lickona sebagai tiga dimensi karakter: moral knowing (mengetahui nilai), moral feeling (merasakan nilai), dan moral action (melakukan nilai). Anak kecil itu tidak hanya tahu arti kurban, tapi juga merasakannya dan menjadikannya tindakan nyata.
Nilai-nilai tersebut juga sejalan dengan konsep 29 Karakter Luhur yang dikembangkan oleh LDII. Dalam pembinaan generasi muda, LDII mengajarkan Tri Sukses Generus: Berakhlakul Karimah, Alim Fakih, dan Mandiri. Pada praktik kurban patungan ini, ketiganya hadir sekaligus. Anak-anak menanamkan nilai kebaikan (akhlakul karimah), belajar ilmu agama (alim), dan membiasakan diri mandiri secara finansial dalam skala kecil.
Beberapa karakter luhur lain juga terlihat nyata. Karakter jujur dan amanah ketika menyetorkan uang tabungan secara rutin. Karakter mujhid-muzhid, rajin dan hemat, ketika mereka konsisten menabung dari menyisihkan sebagian uang jajan. Karakter rukun dan kompak saat mereka bersama-sama terlibat dalam proses pembelian dan penyembelihan. Semua dilakukan tanpa paksaan, tanpa persaingan, dan tanpa ada yang merasa paling berjasa. Tidak ada yang sombong, tidak ada yang minder. Semua setara dalam semangat berbagi.
Berkurban bukan hanya soal menyembelih hewan. Lebih dari itu, kurban adalah simbol penyerahan diri, keikhlasan, dan kepedulian sosial. Dan nilai-nilai ini tidak tumbuh tiba-tiba di usia dewasa. Ia tumbuh dari pembiasaan sejak kecil, dari praktik yang terus-menerus diasah.
Karena itulah, pembelajaran Idul Adha tidak cukup hanya disampaikan dalam ceramah. Ia harus hadir dalam kegiatan nyata: di pengajian, di masjid, di rumah, di sekolah, dan di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak harus dilibatkan dalam proses, diberi ruang untuk bertanya, diajak merasakan langsung, dan dimotivasi untuk berpartisipasi.
Akhirnya, semangat berkurban bukan soal usia, tapi soal nilai yang ditanamkan dengan cinta dan pembiasaan. Ketika anak-anak sudah terbiasa memberi sejak kecil, kelak mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang peduli, bertanggung jawab, dan penuh empati. Dan di situlah letak keberhasilan pendidikan karakter sesungguhnya.
Penulis:
Thonang Effendi,
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Wakil Ketua DPW LDII DKI Jakarta
Luar biasa pembinaan Generus LDII . Semoga membawa manfaat dan BAROKAH. AAMIIIIN.
Belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, butuh proses panjang tapi hasilnya kan tertanam kuat menjadi karakter yg kan jadi jawaban dalam menghadapi realita zaman.
LDII emang jagonya membina dan meramut umat dengan teori dan praktik nyata dari usia dini sampai mengantarkannya ke gerbang Husnul khatimah.. semoga barokah. Aamiin.