Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Di zaman serba cepat ini, setiap langkah terasa dipikul beban tak kasatmata—keraguan yang menyusup, hati yang menegang, dan bayang-bayang ketakutan yang menjerat. Belenggu ketidakpuasan dan luka kecewa menumpuk di keranjang jiwa, sementara kesabaran yang kian menipis membuat setiap napas kian sesak. Andai rasa syukur pernah singgah, ia telah tergilas oleh lupa dan kelaliman hati, hingga perjalanan kita terasa bagai menapaki jurang yang sempit dan penuh duri. Anehnya, bukannya meletakkan derita itu, banyak dari kita justru memilih terus membawanya—menggendong kelelahan jiwa ke setiap sudut kehidupan. Hasilnya, dunia menampakkan wajah muram: kerumunan orang berlalu dengan sorot mata resah, langkah tertatih tanpa gairah, dan senyum yang nyaris terlupakan.
Terus terang, saya pernah menapaki jalan yang sama—tanpa sadar memikul beban yang entah berapa banyaknya. Bahu saya tertunduk oleh kekhawatiran akan hari esok, sementara pikiran melekat pada kekusutan detik ini. Langkah saya tertatih di bawah tumpukan kecemasan tentang masa lalu, dan di relung hati mengendap kegundahan lain yang saling melengkapi.
Orang tua yang telah mapan memendam cemas demi masa depan buah hati mereka; pemuda perkasa gentar kala dipisahkan dari kerabat dan komunitas tercinta. Sebagian lain gelisah akan impian yang kandas; ada pula yang resah sebab keinginannya tak pernah tuntas. Bahkan, tak sedikit yang merasa hampa walau telah meraih segalanya—“kok hanya sejengkal ini?”, “kok belum cukup banyak?”, suara keluh itu berbaris dalam kepala, hingga akhirnya semua berujung pada kekecewaan.
Tenggelamlah sejenak dalam keheningan kolam kejernihan, di mana setiap tetes air menyejukkan luka kegundahan. Air terjun kehidupan mengalirkan kesejukan yang membangkitkan sukma, menghapus butir-butir kekecewaan yang menempel di jiwa. Rasakan sentuhan kesejukan itu—namun jangan hanya menikmati, dengarkan pula bisikan hikmah di balik derasnya aliran: biarkan pikiranmu bebas, dan tetaplah terpusat saat meniti setiap gelombang pengalaman.
Alirkan hidupmu laksana sungai yang tak pernah bimbang, menempa kelenturan dalam setiap rintangan. Mengalir tanpa perlawanan adalah kunci pertama: terimalah apa pun yang datang, bak daun yang ringan menari arus. Menjadi terpusat adalah kunci kedua: hadir sepenuhnya di detik ini, menyatu dengan proses tanpa terperangkap nostalgia masa lalu atau bayang-bayang masa depan.
Dengan kesadaran dan kesabaran, lenturkan hati sebagaimana air menunduk saat menjumpai batu besar—tanpa memaksa, namun tetap melaju. Di sanalah letak pencerahan sejati: ketika jiwa rela mengikhlaskan beban, air kehidupan membimbing pada puncak kedamaian. Kelenturan dan keterpusatan berpadu, menciptakan mahkota kebahagiaan yang tiada tertandingi; sebuah perjalanan yang berakar pada menerima dan bersyukur, hingga kita benar-benar menjadi satu dengan aliran Sang Pencipta.
Tenggelamlah sejenak dalam kolam kontemplasi, di mana arus kehidupan tak lagi menuntut perlawanan. Meskipun ada yang menilai sikap “mengalir” itu tidak konstruktif, di kedalaman air yang tenang justru tersimpan rahasia kekuatan sejati—suatu kebijaksanaan yang tak dapat dibeli dengan reputasi, harta, apalagi tahta.
Biarkan setiap gelombang menuntunmu pada kesadaran penuh: terpusat pada detik ini, menerima apa yang sedang terjadi, dan melangkah dengan langkah ikhlas menuju hasil yang Tuhan atur. Inilah puncak kebahagiaan, mahkota kehidupan yang dikenal para sahabat bijak sebagai pencerahan—sebuah keadaan di mana hati terlepas dari genggaman ego, terbuka untuk misteri, dan sepenuhnya selaras dengan arus Sang Pencipta. Allah berfirman:
(وَٱضۡرِبۡ لَهُم مَّثَلَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا كَمَاۤءٍ أَنزَلۡنَـٰهُ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ فَأَصۡبَحَ هَشِیا تَذۡرُوهُ ٱلرِّیَـٰحُۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡ مُّقۡتَدِرًا)
“Dan berikan perumpamaan kenikmatan dunia kepada mereka, ia bagaikan air yang kami turunkan dari langit, lalu air tersebut meresap dan menumbuhkan tanaman di bumi, lalu tanaman tersebut mengering dan diterbangkan oleh angin, dan Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.” (Al-Kahfi 45)
Biarkan pekerjaan tetap berjalan, sayangi keluarga, dan nikmati kebersamaan di tengah keramaian—tanpa perlu mengasingkan diri untuk melarikan diri dari masalah atau putus asa. Bayangkanlah air terjun itu hanya metafora, karena kejernihan sejati tak terletak di ketinggian tebing, melainkan bersemi di setiap detik kehidupan. Dengarkanlah bisikan lembutnya di sela kesibukan, menuntun hati kepada ketenangan.
Sayangnya, kala kita terperangkap nafsu keras untuk selalu menang, kaku menuntut hasil, dan dipanasi api iri serta dengki, telingalah yang dulunya peka akan suara sunyi itu menjadi tuli. Apalagi jika pikiran terus melayang ke masa lalu atau terbang sendirian ke masa depan, tak pernah berlabuh di saat ini. Akhirnya, kita hidup dalam dunia bayangan—jauh dari keseharian yang sederhana, jauh pula dari kejernihan, hingga syukur dan keikhlasan pun terkubur di balik gemuruh nafsu.
Bayangkan hari cerah di sebuah masjid nan sunyi, saat Rasulullah ﷺ melangkah lembut memasuki pelataran. Di sudut sajadah, tampak Abu Umamah terpaku dalam duduknya—matanya meredup oleh kegundahan dan beban utang yang menyesakkan. Rasulullah ﷺ menghampiri dengan senyum teduh dan bertanya, “Hai Abu Umamah, mengapa kau berbagi waktu bersama kerikil kekhawatiran di luar waktu shalat?”
Abu Umamah menunduk, suaranya lirih, “Ya Rasulullah, akal dan jiwa ini dihimpit kebingungan, utang menjerat hingga napas terasa tertahan.”
Rasulullah ﷺ menatap dalam, lalu bersabda, “Kupunya kekayaan kata yang jika kau resap dan kumandangkan setiap fajar dan senja, Allah akan mengikis kegelisahanmu dan membekali kekuatan melunasi setiap beban.” Lalu beliau mengajarkan doa suci:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan orang-orang (yang menindas). ”
Kata demi kata meluncur lembut, seakan angin pagi menyapa dedaunan, menyingkap kabut hati. “Minta perlindungan pada-Nya,” bisik Rasulullah ﷺ, “dari segenap nestapa, kelemahan, ketakutan, sifat kikir, lilitan utang, dan penindasan manusia.”
Abu Umamah menyesap setiap makna, lalu meneguk keyakinan. Hari demi hari, doa itu menjadi pelita—mengurai simpul kegundahan, membuka pintu kelancaran rezeki, dan menebar ketenangan di relung jiwa.
Pelajaran indah ini meneguhkan bahwa dalam derasnya arus hidup, kita tak harus berlari ke puncak gunung, mengasingkan diri, atau menutup diri dari sesama. Cukup dengan menepi di tepian hati, meneguk siraman doa, serta memetik hikmah dari kalimat-kalimat yang meneduhkan. Di sanalah kebingungan mencair, utang terasa ringan, dan jiwa kembali menari riang—seperti ikan yang bernyanyi di dalam air kejernihan.
Ajk. Tindakan muncul sebelum pikiran, shalat bisa tanpa niat. Pikiran=instrumen di masalah2 di kondisi2 yg belum selesai.Nalar,kesadaran,nurani muncul pada saat konflik bathin.Ada peraturan2 negara jangka pendek/menengah/panjang berikut peraturan2 perbaikan2nya. Kita tidak sekadar dikondisikan oleh kejadian2 yg terjadi tapi bersamaan dng pembentukan kejadian2 tsb. Sehingga/karena tujuan dari suatu tindakan tidak pernah sepenuhnya dapat dinyatakan dan ditentukan hingga tindakan tsb selesai sepenuhnya diturunkan ke rutinitas otomatis yg tidak lagi memerlukan kesadaran dan perhatian.Apakah shalat kita sudah tepat waktu atau khusu, atau hidup kita sudah Lillahi Ta Ala. Kalau tindakan2 manusia belum terselesaikan, maka tentunya nikmat Allah sesuai Qs 3:103 tidak ketemu, belum ada persaudaraan, bentrok, saling curiga dll.
AJKH. Sangat mencerahkan. Semoga Allah paring hikmah, aman, selamat, lancar dan barokah.
Mantab