Jakarta (15/6). Di tengah derasnya arus digitalisasi dan tantangan era Society 5.0, Pondok Pesantren Minhajushobirin menunjukkan bahwa pendidikan karakter tak bisa ditinggalkan begitu saja. Lembaga pendidikan yang juga di bawah naungan DPD LDII Jakarta Timur ini meramu nilai-nilai keislaman dan semangat kebangsaan menjadi satu napas dalam proses belajar santri sehari-hari.
“Cinta tanah air bagian dari iman, itu yang selalu kami tanamkan,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Minhajushobirin, Samsul Hadi saat pelepasan siswa-siswi kelas 12, pada Sabtu, 14 Juni 2025 di Cibubur, Jakarta Timur.
Ia menekankan, nasionalisme bukan sekadar slogan. Santri diajak aktif mengikuti upacara bendera, diskusi kebangsaan, hingga kajian Islam yang memperkuat kecintaan mereka terhadap bangsa. Namun, pendekatan yang diterapkan Minhajushobirin tidak berhenti pada rutinitas upacara.
“Karakter dibentuk lewat keteladanan dan penguatan adab, yang dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan digital,” tuturnya.
Para santri, kata Samsul, dilatih membuat konten dakwah dengan narasi cinta Tanah Air. “Kami ajarkan menulis, membuat video islami yang menyuarakan nilai kebangsaan. Agar mereka bukan hanya melek teknologi, tapi juga punya prinsip,” tuturnya.
Tantangan tetap ada. Samsul menyebut budaya instan dan rendahnya minat membaca sejarah sebagai dua aral utama yang dihadapi pesantren saat ini. Untuk itu, Minhajushobirin mencoba menjembatani kebutuhan zaman dengan penguatan literasi digital, mengenalkan tokoh-tokoh nasional lewat media yang dekat dengan santri. “Kami buat konten sejarah bangsa versi mereka, supaya mereka kenal dan bangga,” katanya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Minhajushobirin, Nur Samsi, tak menampik rasa syukur dan bangga atas pencapaian para santri yang berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun di balik itu, ia menitipkan pesan mendalam yang lebih dari sekadar akademik.
“Ilmu yang mereka bawa dari pesantren jangan hanya dijadikan pelengkap. Jadikan itu fondasi, jadi kompas dalam menghadapi dunia luar yang jauh lebih luas dan penuh tantangan,” ujarnya ketika ditemui selepas pelepasan santri lulusan akhir.
Bagi Nur, lulusan pesantren bukan hanya mahasiswa biasa. Mereka membawa nama baik pondok dan, yang lebih utama, membawa identitas keilmuan dan akhlak. “Alim, faqih, dan akhlakul karimah bukan sekadar slogan. Itu karakter. Di dunia kampus yang penuh godaan, karakter itu yang akan jadi pembeda,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya kemandirian, terutama saat para alumni tidak lagi berada dalam sistem asrama yang terstruktur. “Mereka akan jauh dari orang tua, jauh dari pengasuh pondok. Tapi justru di situlah nilai-nilai pesantren diuji. Apakah bisa tetap bangun subuh, tetap menjaga lisan, tetap rendah hati, atau justru hanyut,” lanjutnya.
Tak lupa, Nur juga mengingatkan agar para lulusan tetap menjaga hubungan dengan almamater. Menurutnya, ikatan batin antara santri dan pesantren seharusnya tak putus oleh waktu atau jarak. Ia berharap mereka tetap aktif dalam kegiatan alumni, berbagi pengalaman, dan menjadi inspirasi bagi adik kelasnya.
“Santri Minhajushobirin harus bisa menunjukkan bahwa pendidikan berbasis nilai itu relevan di mana pun berada. Entah jadi dokter, dosen, pebisnis, atau pemimpin, nilai-nilai itulah yang akan membuat mereka dipercaya,” kata Nur. (Wicak/LINES)