Jakarta (5/12). Persoalan pangan bukan sekadar masalah mencukupi kebutuhan hidup bangsa. Lebih luas lagi, pangan menjadi komoditas strategis sekaligus senjata dalam diplomasi. Mengabaikan pangan bukan sekadar meningkatkan impor, namun juga membahayakan kedaulatan bangsa.
“Di tengah tekanan perubahan iklim dan alih fungsi lahan, Indonesia tengah berjuang mewujudkan swasembada pangan. Sebagai langkah untuk membangun kedaulatan pangan. Kebijakan tersebut harus didukung oleh seluruh elemen bangsa, baik pemikiran, tenaga, maupun kritik yang membangun,” tutur Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Ia juga mengingatkan, Indonesia memiliki pengalaman mencapai swasembada pangan pada pertengahan 1990-an. Namun langkah Indonesia terganjal kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF), yang meminta Indonesia mencabut beragam subsidi pada 1998, termasuk terhadap pertanian,
“Kebijakan tersebut mematikan petani yang pondasi usahanya lemah. Akibatnya, pertanian secara nasional tertatih-tatih akibat rentenir, jalur pasok berkepanjangan, monopoli perusahaan pertanian raksasa, yang berakibat pada kesejahteraan petani dan peternak. Termasuk program swasembada pangan,” tuturnya.
Di Uni Eropa dan Amerika Utara sekalipun, pemerintah menerapkan subsidi agar petani bisa produktif memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan mampu mengekspor pangan, “Abad 21 menandai perang ekonomi, di mana pangan menjadi salah satu alat tekan. Negara-negara pengekspor pangan mampu mengendalikan negara lain, bila mereka memiliki kepentingan terhadap suatu negara,” ujar KH Chriswanto.
Terkait fenomena global itu, ia mendorong warga LDII berinovasi dalam bidang pertanian. Ia mensyukuri dan mengapresiasi Ketua DPP LDII, Rubiyo, yang meraih penghargaan “Indonesian Breeder Award (IBA) 2025 Kategori Social Impact”. Acara tersebut, diselenggarakan oleh Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) bekerja sama dengan IPB University dan PT East West Seed Indonesia (EWINDO), di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (19/11) lalu.

Rubiyo adalah warga LDII Bogor yang juga Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut mengungkapkan, IBA merupakan penghargaan tertinggi ilmuwan insan pemulia atas karyanya, sebagai pemulia yang mempunyai dampak besar terhadap kemajuan IPTEK, pembangunan ekonomi, dan sosial.
“Tahun ini, terdapat tujuh kategori penghargaan, yakni economic impact, social impact, innovation and technology development, lifetime achievement, local heroes, young breeder, dan plasma nutfah,” kata Rubiyo.
Terkait dengan karyanya, Rubiyo mengatakan, pihaknya telah berhasil merakit varietas unggul kakao dan kopi, sebagai kekayaan intelektual. “Varietas tersebut, telah diadopsi oleh petani pekebun, perusahaan perkebunan, dan masyarakat lainnya. Secara teknis, kami telah mampu meningkatkan produksi kakao dari 1.000 kg menjadi 2.500 kg biji kering/tahun/ha,” pungkas Rubiyo.
Sementara itu, Kepala BRIN, Arif Satria mengatakan, Indonesia saat ini hanya memiliki 1.000-an pemulia tanaman. “Yang aktif sekitar 250-an orang, sehingga kebutuhan terhadap profesi tersebut sangat besar,” katanya.
Arif menuturkan, penghargaan tersebut memberikan penghormatan kepada mereka yang bekerja dalam senyap di rumah kaca, laboratorium, dan lahan percobaan. “Namun kontribusinya dirasakan jutaan masyarakat, melalui benih yang ditanam petani,” tutupnya.
Ia menegaskan BRIN berkomitmen memperkuat lahirnya inovasi dan pemulia tanaman terbaik melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, industri, pemerintah, dan masyarakat untuk mempercepat kemandirian benih nasional.












