Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Kehidupan, yang dilabeli modern, seperti perlombaan yang tak pernah usai. Terus berlari, seolah berhenti adalah sebuah kesalahan. Semuanya ingin serba cepat—secepat mungkin, seefisien mungkin. Seolah hidup adalah arena balap, dan kita tak lebih dari pelari-pelari yang tak pernah sempat menarik napas panjang. Di bangku sekolah, anak-anak berlari agar cepat lulus, seolah nilai adalah segalanya, dan proses hanya sekadar lorong yang harus dilalui sesingkat mungkin. Di tempat kerja, orang berlari memanjat tangga jabatan, sering kali dengan kaki yang gemetar dan hati yang hampa. Di pasar, langkah dipercepat demi mengejar keuntungan, demi angka-angka yang terus berubah di layar digital. Di jalanan, waktu seolah mengejar dari belakang, membuat semua orang tergesa walau tak tahu persis apa yang dikejar. Bahkan di rumah—tempat yang dulu identik dengan tenang dan pulang—kini pun terasa seperti pos kerja lain yang tak pernah tutup. Target-target terus mengetuk pintu, bahkan saat mata hendak terpejam. Akhirnya, yang tersisa hanya lelah. Lelah yang bukan sekadar fisik, tapi juga batin. Energi yang dulu menghidupkan, perlahan memudar. Kreativitas yang biasanya muncul dalam jeda, tersapu habis oleh kecepatan. Vitalitas hidup, yang tumbuh dalam ruang-ruang sunyi dan refleksi, lenyap ditelan ketergesaan yang tak kenal ampun. Barangkali, kita perlu belajar diam. Bukan menyerah, tapi jeda. Bukan berhenti, tapi menemukan irama. Karena hidup bukan perlombaan satu babak. Ia adalah perjalanan panjang, yang hanya bisa dinikmati jika kita sempat menoleh, menghirup, dan benar-benar hadir.
الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ ۚ سَأُرِيكُمْ آيَاتِي فَلَا تَسْتَعْجِلُونِ
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.” (QS Al-Anbiya: 37)
Dulu, kita tumbuh dengan satu keyakinan yang ditanam kuat: semakin keras kau bekerja, semakin baik hasilnya. Semakin cepat kau melangkah, semakin dekat kau dengan keberhasilan. Maka kita pun bergegas. Bergegas bangun, bergegas belajar, bekerja, berambisi. Kita menelan jadwal padat seperti vitamin, meyakini bahwa produktivitas adalah satu-satunya cara untuk menjadi “bernilai”. Tapi kini dunia mengirimkan sinyal yang tak bisa lagi diabaikan. Bumi merintih dengan cuaca yang tak lagi ramah—badai datang tak mengenal musim, panas membakar bahkan di bulan basah. Di sisi lain, manusia—makhluk yang dulu percaya bahwa kecepatan menyelamatkan—mulai limbung. Angka bunuh diri naik. Perceraian mengoyak keluarga. Rumah tak lagi jadi tempat pulang yang damai. Dan sebagaimana pernah diperingatkan WHO, krisis kesehatan mental bukan lagi ancaman masa depan, tapi kenyataan hari ini. Kita mulai menyadari, hidup yang terus berlari tanpa arah bukanlah hidup yang sehat. Bahwa tidak semua hal harus diselesaikan sekarang. Tidak semua tangga harus didaki sekaligus. Tidak semua mimpi harus dikejar dengan napas tercekat. Maka kini, sudah saatnya: pause. Berhenti bukan berarti gagal. Diam bukan berarti kalah. Karena dalam diam kita mendengar suara hati sendiri. Dalam jeda, kita kembali mengenali arah. Dalam pelan, kita belajar menikmati, bukan sekadar melewati. Seni berhenti adalah seni yang paling jarang diajarkan, tapi justru paling menyelamatkan. Saat dunia memacu kita untuk terus berlari, beranilah menjadi yang menepi. Beranilah pause —karena mungkin, itulah awal dari hidup yang benar-benar utuh.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS An-Nahl:97)
Seni berhenti bukan berarti tidak melakukan apa-apa, melainkan mendalami wajah kebahagiaan yang lebih dalam. Seni berhenti bukan berarti pasif, melainkan aktif di dalam diam. Mengambil jarak sejenak. Instrospeksi, mensyukuri dan memperbaiki diri. Di tingkat berlari, kebahagiaan berarti terpenuhinya keinginan. Padahal keinginan tak pernah berhenti. Setelah mendapat ini, ingin itu. Setelah dapat itu, ingin yang lain lagi. Begitu terus. Karena keinginan berlari, maka hidup pun berlari. Di tingkat berhenti, kebahagiaan berarti mengembangkan rasa berkecukupan di dalam diri. Mensyukuri yang telah didapat dan menikmatinya dengan hikmat. Berkecukupan membuat seseorang mudah mengalami keterhubungan. Terhubung kepada Tuhan, terhubung kepada sesama manusia dan terhubung dengan alam sekitar. Dan keterhubungan inilah sumber banyak keberlimpahan.
وَالَّذِيْنَ صَبَرُوا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً وَّيَدْرَءُوْنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِۙ جَنّٰتُ عَدْنٍ يَّدْخُلُوْنَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ اٰبَاۤىِٕهِمْ وَاَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيّٰتِهِمْ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِّنْ كُلِّ بَابٍۚ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِۗ
“Dan orang-orang yang bersabar demi mencari keridaan Tuhan mereka, mendirikan salat, menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan membalas keburukan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapatkan tempat kesudahan (yang baik). (Yaitu) surga-surga ‘Adn. Mereka memasukinya bersama orang saleh dari leluhur, pasangan-pasangan, dan keturunan-keturunan mereka, sedangkan malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu. (Malaikat berkata,) “Salāmun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepadamu) karena kesabaranmu.” (Itulah) sebaik-baiknya tempat kesudahan (surga).” (QS Ar-Ra’d: 22 – 24)
Alkisah, suatu hari seorang murid berjalan dengan langkah yang gontai. Bukan karena sakit di kaki, tetapi karena beban di hati. Lelah yang tidak sekadar fisik, jenuh yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Hari-harinya terasa datar, dan hidup seperti kehilangan warna. Dalam keheningan hatinya, ada tanya: “Untuk apa semua ini? Ke mana semua ini menuju?” Sebagai bagian dari tugas rutinnya, ia diminta berbelanja ke toko kecil di dekat biara. Dengan sisa semangat yang nyaris habis, ia berkata kepada pemilik toko: “Berikan padaku bahan-bahan terbaik, hanya yang terbaik.” Pemilik toko, seorang lelaki tua dengan senyum damai dan mata yang jernih, menjawab tanpa ragu, tanpa banyak berpikir: “Everything is the best – Semua adalah yang terbaik”.
Seketika, dunia yang semula kusam terasa seperti disapu cahaya. Sang murid tertegun. Bukan karena kata-kata itu luar biasa rumit, tapi justru karena kesederhanaannya yang menggugah. Seketika itu juga, ia memahami: Bahwa hidup tidak selalu perlu diukur dengan baik-buruk, untung-rugi, naik-turun. Bahwa segala yang terjadi, bahkan kelelahan dan kejenuhan yang sedang ia rasakan, bukanlah musuh yang harus dihindari. Semuanya—ya, semuanya—bisa jadi guru. Bisa jadi anugerah. Bahkan bisa jadi pintu menuju pemahaman yang lebih dalam. Pencerahan datang bukan dari langit yang terbelah, bukan dari kitab-kitab yang terbuka sendiri, tapi dari satu kalimat biasa yang keluar dari hati yang sadar. “Everything is the best.” Sejak hari itu, sang murid belajar menerima hidup sebagaimana adanya—bukan pasrah, tapi percaya. Percaya bahwa setiap detik membawa hikmah. Dan bahwa dalam setiap yang tampak biasa, bisa saja tersembunyi cahaya luar biasa. Kadang, pencerahan tidak datang dalam sunyi gua atau lantunan doa. Kadang, ia datang di toko kecil, lewat sapaan seorang bijak yang bahkan tak menyadari bahwa ia sedang memberi pelajaran terbesar dalam hidup.
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah 269).
Inilah wajah kebahagiaan kehidupan yang lebih dalam. Bila makhluk menderita mengira bahwa hidup penuh kekurangan, makanya mereka berlari dan berkejaran. Di tingkatan yang lebih dalam lagi kehidupan mengalir lengkap dengan berkah-berkah terbaiknya. Begitulah pandangan orang-orang tercerahkan. Burung-burung bernyanyi, rumput hijau, gemercik air, bunga yang mekar, ikan yang berlompatan, anak-anak yang bernyanyi, semuanya bercerita aliran kehidupan yang serba terbaik. Sakit adalah masukan bahwa ada pola hidup yang perlu diperbaiki. Gagal adalah pelajaran tentang batas-batas diri. Dicaci adalah bahan untuk hidup lebih rendah hati. Dengan kata lain, semua adalah yang terbaik. Bila ini cara pandangnya, kebahagiaan sangat dekat dengan seni mengalir. Saat seseorang mengalir, dengan mudah ia mengalami pengalaman kebersatuan. Di tingkat ini, kebahagiaan adalah aroma kopi bagi yang sedang minum kopi, indahnya matahari terbit bagi yang sedang menikmati matahari terbit, nyanyian anak-anak bagi pencinta anak-anak.
Akhirnya diperlukan cara berhenti untuk menikmati hidup ini, sebelum mengalir kembali bersama yang terbaik dari alam ini. Diantara demikian banyak cara berhenti, yang paling banyak dibutuhkan saat ini adalah cara hidup penuh syukur. Berhenti untuk bersyukur. Berhenti dengan bersyukur. Bukan berkejaran. Diantara demikian banyak seni berhenti, yang paling banyak dibutuhkan saat ini adalah seni hidup bahagia. Bukan kesuksesan. Dulu banyak orang meyakini, sukseslah yang membuat seseorang bahagia. Sekarang mulai banyak yang sadar, kebahagiaanlah yang membuat orang sukses. Dan ajakan untuk berhenti, seni untuk menikmati, jeda dari hiruk-pikuk sejenak, ternyata ada 5 kali ajakan sehari di kehidupan ini. Perhatikanlah panggilan adzan. Sebenarnya dibalik panggilan Hayya ‘Alal Falah (Ayo meraih kebahagiaan), setelah Hayya ‘Alash Sholah (Ayo mengerjakan shalat), adalah ajakan untuk berhenti. Ajakan untuk menikmati kehidupan ini. Seni hidup bahagia. Bagaimana tidak? Kebahagian apalagi sih yang dicari manusia sebagai makhluk, selain bisa menghadap dan bercakap-cakap dengan Allah Sang Maha Pencipta ini, dilanjutkan dengan menikmati indahnya kehidupan saat ini? Amazing, bukan? Subhanallah, … tinggal mempraktikkan saja, yang telah ada. Ayo berbahagia sekarang jua.
Subhanallah…AJKH atas perkelingnya. Semangat untuk berdedikasi, berkinerja dan berprestasi baik di sekolah, di tempat kerja ataupun di mana saja kita berada adalah hal yang tidak buruk. Namun jangan kebablasan sehingga menjadi seolah-olah hina jika gagal.