Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan
Hati-hati dengan kata-kata. Apalagi jika itu adalah doa. Kata atau doa dari orang yang dekat (parek) dengan Allah. Punya yoni, wibawa dan derajat yang berbeda. Walau mungkin sama dengan kata yang biasa diucap umumnya lisan. Bahkan, tak jarang menjadi jalan pencerahan menuju keridhaan-Nya.
Kisah pertama. Suatu malam yang sunyi sepi, di kala masyarakat sedang terlelap tidur, seorang pencuri telah menerobos masuk ke dalam pondok Rabi’ah al-Adawiyah. Namun setelah menyatroni sekeliling berkali-kali, dia tidak menemui sebarang benda berharga apapun, kecuali sebuah kendi untuk berwudlu. Itupun telah usang dimakan waktu. Lantas si pencuri tergesa-gesa untuk keluar dari pondok tersebut. Tiba-tiba Rabi’ah al-Adawiyah menegur si pencuri tersebut, “Hei, jangan keluar sebelum kamu mengambil sesuatu dari rumahku ini.”
Si pencuri tersebut terperanjat, kerana dia menyangka tiada penghuni di pondok tersebut. Dia juga berasa heran karena baru kali ini dia menemui tuan rumah yang begitu baik hati. Kebiasaannya tuan rumah pasti akan menjerit meminta tolong apabila ada pencuri memasuki rumahnya, namun lain pula yang terjadi kali ini.
“Silakan ambil sesuatu,” kata Rabi’atul Adawiyah lagi kepada pencuri tersebut.
“Tiada apa-apa yang dapat aku ambil dari rumahmu ini,” kata si pencuri berterus-terang.
“Ambillah itu!” kata Rabi’atul Adawiyah sambil menunjuk pada kendi yang usang tadi.
“Ini hanyalah sebuah kendi usang yang tidak berharga,” jawab si pencuri.
“Ambil kendi itu dan bawa ke bilik air. Kemudian kamu ambil wudhu’ menggunakan kendi itu. Selepas itu sholatlah 2 rakaat. Dengan demikian, engkau telah mengambil sesuatu yang sangat berharga dari pondok burukku ini,” balas Rabi’ah al-Adawiyah.
Mendengar kata-kata itu, si pencuri tadi berasa gemetar. Hatinya yang selama ini keras, menjadi lembut seperti terpukau dengan kata-kata Rabi’ah al-Adawiyah itu. Lantas si pencuri menggamat kendi usang itu dan dibawa ke bilik air, lalu berwudhu’ menggunakannya. Kemudian dia menunaikan sholat 2 rakaat. Ternyata dia merasakan suatu kemanisan dan kelezatan dalam jiwanya yang tak pernah dirasa sebelumnya.
Rabi’ah al-Adawiyah lantas berdoa, “Ya Allah, pencuri ini telah ‘sembrono’ masuk ke dalam rumahku. Akan tetapi dia tidak menemui sebarang benda berharga untuk dicuri. Yang ada hanya sebuah kendi. Dengan kendi itu kupinta dia ambil air wudhu. Kemudian aku suruh dia berdiri dihadapan-Mu. Oleh karena itu janganlah Engkau halangi dia untuk memperoleh nikmat dan rahmat serta hidayah-Mu.”
Kisah kedua, di medan perang yang berdebu, di antara denting pedang dan teriakan takbir, tampaklah seorang satria berpakaian putih, memancarkan cahaya keteguhan. Ia bukan sembarang kesatria—ia adalah Ali bin Abi Thalib, singa Allah, menantu Rasul, penjaga kebenaran. Dengan pedang bermata dua yang terkenal, Dzulfiqar, ia berhasil merobohkan seorang musuh kafir. Pria itu tergeletak di tanah, tubuhnya gemetar menanti maut yang tinggal sejengkal.
Ali mengangkat pedangnya tinggi, siap mengakhiri pertempuran itu dengan satu tebasan. Namun saat itu juga, si musuh meludah tepat ke wajah Ali. Wajah sang satria basah oleh ludah penuh benci. Sunyi sesaat. Semua yang melihat mengira ajal si musuh telah sampai. Namun, justru yang terjadi membuat semua terperangah. Ali menurunkan pedangnya. Ia melangkah mundur. Ia tidak jadi membunuh. Musuh itu terheran-heran. “Mengapa kau tak menghabisiku? Bukankah aku telah meludahi kehormatanmu?”
Ali menjawab dengan suara tenang tapi dalam: “Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah, karena engkau musuh-Nya. Tapi setelah kau meludahi wajahku, aku khawatir amarah pribadiku tercampur dalam niatku. Dan aku tidak ingin mencampur ibadah dengan nafsu.”
Musuh itu terdiam. Matanya mulai basah, bukan karena takut, tapi karena tersentuh oleh laku jiwa seorang satria sejati. Tak lama kemudian, ia mengucapkan syahadat, masuk Islam dengan tulus. Hari itu, bukan hanya satu pedang yang dimenangkan oleh Ali, tapi satu hati juga ditaklukkan oleh akhlaknya.
Kisah ketiga, tentang Abdullah bin Umar bersama Yang Mulia Rasulullah SAW, sebagaimana diceritakan oleh Imam Al-Bukhari didalam shahihnya.
عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذَا رَأَى رُؤْيَا قَصَّهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتَمَنَّيْتُ أَنْ أَرَى رُؤْيَا فَأَقُصَّهَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكُنْتُ غُلاَمًا شَابًّا، وَكُنْتُ أَنَامُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَرَأَيْتُ فِي النَّوْمِ كَأَنَّ مَلَكَيْنِ أَخَذَانِي فَذَهَبَا بِي إِلَى النَّارِ فَإِذَا هِيَ مَطْوِيَّةٌ كَطَىِّ الْبِئْرِ، وَإِذَا لَهَا قَرْنَانِ، وَإِذَا فِيهَا أُنَاسٌ قَدْ عَرَفْتُهُمْ فَجَعَلْتُ أَقُولُ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ ـ قَالَ ـ فَلَقِيَنَا مَلَكٌ آخَرُ فَقَالَ لِي لَمْ تُرَعْ. فَقَصَصْتُهَا عَلَى حَفْصَةَ فَقَصَّتْهَا حَفْصَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ “ نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ، لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ ”. فَكَانَ بَعْدُ لاَ يَنَامُ مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَلِيلاً.
Dari Salim, dari ayahnya (Abdullah bin Umar) berkata: “Pada masa Nabi ﷺ, orang-orang sering menceritakan mimpi mereka kepada beliau. Aku pun ingin sekali mengalami mimpi yang bisa aku ceritakan kepada beliau ﷺ. Saat itu aku masih muda dan tidur di masjid. Suatu malam aku bermimpi dibawa oleh dua malaikat ke neraka. Neraka itu tampak seperti sumur yang dalam dan sempit, dan aku melihat orang-orang yang aku kenal di dalamnya. Aku pun berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah dari neraka!’ Kemudian kami bertemu malaikat lain yang berkata, ‘Jangan takut!’ Aku ceritakan mimpi itu kepada Hafshah (saudariku), lalu Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau bersabda: ‘Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah, jika saja dia shalat malam.’ Sejak itu, Abdullah tidak lagi tidur malam kecuali sedikit saja.”
Di antara lembaran kisah para kekasih Allah di atas, terselip untaian hikmah yang bukan hanya menyentuh hati, tetapi menggugah jiwa. Lihatlah Rabi’atul Adawiyah, seorang sufi perempuan yang hidupnya nyaris tak memiliki harta dunia. Namun ketika seorang pencuri menyelinap ke dalam pondoknya, ia justru memintanya untuk mengambil kendi tuanya dan menunaikan shalat dua rakaat. Bukan amarah yang keluar dari lisannya, melainkan kelembutan yang memancar dari hati yang penuh cinta kepada Tuhannya. Dan benar saja, kalimat sederhana itu menggugah kesadaran si pencuri—bukan karena isinya, tapi karena siapa yang mengucapkannya.
Begitu pula Ali bin Abi Thalib, yang dalam panasnya medan perang justru menahan pedangnya saat lawannya meludahinya. Ia takut niat sucinya ternodai oleh nafsu pribadi. Keputusan itu tidak hanya menyelamatkan satu nyawa, tapi juga menyelamatkan satu jiwa yang akhirnya beriman. Bukan hanya logika yang bicara, tapi jiwa yang jernih, yang bersih dari pamrih dan penuh keikhlasan. Maka kalimat Ali menjadi cahaya yang menyelinap menembus benteng keangkuhan musuhnya. Menjadi insaf dan sadar bersyahadat.
Begitulah para kekasih Allah; kata-kata mereka bukan sekadar suara yang bergetar di udara, tapi pantulan dari hati yang terhubung dengan langit. Ketika Rasulullah ﷺ bersabda lembut tentang Abdullah bin Umar, “Sebaik-baik lelaki adalah dia, seandainya ia bangun di malam hari,” kalimat itu menghunjam ke dalam hati sang sahabat, dan mengubah jalan hidupnya. Apa yang mereka ucapkan tak sekadar ucapan—itu adalah hembusan rahmat, kekuatan yang bekerja karena jiwa-jiwa mereka telah menjadi cermin kehendak-Nya. Maka, bukan kata-kata itu sendiri yang istimewa, tapi ruh yang mengucapkannya, dan izin dari Allah yang menjadikannya nyata.
Dalam kehidupan yang luas membentang dan tak terbatas, janganlah kita membatasi langkah hanya karena kelemahan dan kemalasan. Jalan menuju cinta Allah terbuka bagi siapa saja yang mengetuknya dengan tulus. Mungkin kita belum mampu menjadi para kekasih-Nya yang agung, tetapi janganlah berputus asa. Carilah mereka, dekatilah para kekasih Allah—orang-orang yang jernih hatinya, yang lembut lisannya, yang hidupnya menebar cahaya. Melalui kedekatan itu, percikan berkah bisa menyentuh jiwa kita, membangkitkan semangat yang semula padam, dan membimbing langkah menuju arah yang benar. Doa-doa mereka, walau lirih, mampu menggugurkan beban yang berat, karena kalimat yang keluar dari hati yang mencintai Allah akan mengetuk pintu langit dengan izin-Nya.
Maka mendekatlah—bukan hanya kepada Allah, tapi juga kepada manusia yang mencintai-Nya, kepada sesama yang membawa kebaikan, kepada alam yang menyimpan tanda-tanda-Nya. Ketika hati kita terhubung dengan cinta yang benar, dunia ini menjadi ruang yang lapang dan teduh. Kita bukan hanya menemukan arah hidup, tetapi juga menemukan kedamaian di setiap perjalanan, hingga derajat kita pun terangkat—tidak karena tinggi pangkat atau banyaknya amal, tetapi karena kita berada di lingkaran cinta dan keberkahan. Dekat dengan Allah adalah puncak dari segala pencapaian, dan dekat dengan para kekasih-Nya adalah tangga menuju puncak itu.
AJKH Mas Kus….3 kisah yang diceritakan di atas sungguh sangat inspiratif…hati kami pun bergumam…kok bisa seperti itu ya? pasti terucap dari orang yang sangat tinggi tingkatan kedekatannya dengan Allah….semoga kita bisa mengambil hikmah dari 3 kisah dan tulisan di atas…
Inspiratif semoga menggugah kesadaran kita utk selalu menetapi aturan2 agama sekecil apapun. Lancar manfaat berhasil barokah 🤲🤲🤲
manfaat mantap masuk om
semoga kita Alloh paring sehat waras Aman Slamet lancar dan barokah ya
aamiin