Indonesia kaya dengan tanaman herbal. Tanaman ini bisa dimanfaatkan daun, bunga, batang, akar atau rimpang, dan umbi. Agar setiap keluarga dapat mengambil manfaat dari tanaman herbal, teras rumah pun bisa digunakan untuk budidaya Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Selain bermanfaat untuk pengobatan, TOGA dapat membangun usaha kecil bagi ibu-ibu rumah tangga.
“Budidaya dan pengolahan tanaman herbal lokal dapat meningkatkan kualitas hidup. Pemeliharaan keseimbangan antara proteksi diri dan pengobatan berbagai penyakit ringan maupun degeneratif,” ujar Indah Hastuti, herbalis dan tenaga medis UPT Pemda Tegal. Ia menambahkan, berbagai jenis tanaman dengan cara pengolahan yang baik, higienis akan menghasilkan minuman yang bermanfaat untuk kesehatan, penyembuhan dan memiliki nilai ekonomis yang baik.
Sejalan dengan hal itu, Ketua LDII Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Kesejahteraan Keluarga (PPKK), Endang Trihastuti Aselina mengatakan, dasar kualitas manusia yang terdiri dari sehatnya jasmani dan rohani. “Sehat dalam arti mampu berpikir rasional, berkarya terlepas dari beban biaya kesehatan yang tinggi,” kata Tuti. Tanaman obat keluarga juga mampu menjadi pertolongan pertama jika seseorang terkena penyakit tergolong ringan.
Terlebih lagi, tanaman herbal olahan atau jamu, telah mendapat saintifikasi sebagai upaya terobosan dalam pelayanan kesehatan, sesuai Permenkes No. 003 Tahun 2010. Secara resmi telah dimasukkan oleh Kemenkes dalam undang-undang pemerintah No. 36 Tahun 2009 pasal 101 dan 48, dan diakui dalam dunia kedokteran. Sehingga, jamu atau penggunaan tanaman herbal secara tidak langsung mengurangi pemakaian obat konvensional yang kini 90 persen masih impor.
Terkait tanaman herbal, bahkan negara seperti Korea, Jepang, dan China juga mulai memaksimalkan pemanfaatan tanaman herbal seperti di Indonesia. Sejak berabad-abad dulu, nenek moyang bangsa Indonesia telah memanfaatkan tanaman herbal sebagai jamu untuk menyembuhkan penyakit.
Jamu, sebagai obat asli Indonesia dalam pengembangannya juga memiliki tantangan tersendiri. Dalam hal regulasi dan kebijakan nasional misalnya, jamu bisa dikatakan memiliki status terendah dalam dunia
pengobatan, atau kasta sudra, Indah menyebutnya. Kedua, penyediaan bahan baku yang harus berkualitas, terjamin mutu, keamanan, dan manfaatnya. Diperlukan penelitian terhadap akses keamanan jamu dan pemanfaatannya, serta rasionalitas penggunaannya.
Pembagian jenis tanaman berdasarkan kategori penggunaan atau manfaat sehari-hari sangat perlu diperhatikan. Pengelolaan TOGA bila memanfaatkan sedikit lahan tentu membutuhkan perawatan cukup detil. Indah mencontohkan, di lingkungan tempatnya bekerja di Tegal, dibuat program yang membagi satu wilayah desa menjadi beberapa kelompok TOGA. Koordinator itu mencatat resep-resep jamu, dan bertugas memetakannya dari masing-masing tanaman obat yang ditanam berlainan jenis setiap rumah. “Lalu, jika ada salah seorang yang sakit, cukup meminta kepada koordinator tersebut mengenai resep jamu sekaligus lokasi rumah yang menanam TOGA,” kata Indah.
Beragam pemanfaatan jamu, mulai dari jamu antioksidan, anti mikroba, penangguh kanker, hepatoprotector (pelindung hati), penghancur batu ginjal dengan penggunaan diuretic (memperlancar buang air seni), serta immunostimulan atau stimuli kekebalan tubuh. Artinya, jamu dapat memperbaiki kualitas hidup tanpa ketergantungan vitamin berbentuk obat sintetis atau kimia.
Di luar pentingnya pengobatan herbal, yang paling utama adalah menjaga pola makan yang kontra produktif. Prinsipnya adalah makanan yang dikonsumsi sehari-hari dapat dijadikan sebagai obat.