Oleh Thonang Effendi*
Ada banyak cara untuk memahami makna sebuah karakter. Salah satu metafora yang paling dekat adalah pohon. Ia tumbuh pelan, tidak tergesa-gesa, tidak bising, tidak menuntut tepuk tangan. Pohon menancapkan akarnya dalam-dalam sebelum terlihat menjulang. Ia memberi manfaat tanpa bertanya siapa yang akan menikmatinya. Dan yang paling indah: ia tetap tumbuh meski penanamnya mungkin tidak lagi ada.
Setiap 28 November, bangsa ini memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia. Pada tahun 2025, tema yang diangkat adalah “Hijaukan Bumi, Pulihkan Alam.” Tema ini bukan sekadar ajakan ekologis, melainkan juga ajakan moral — mengembalikan keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Di dalamnya terkandung pesan akhlak yang mendalam bahwa merusak alam adalah bentuk kezaliman, dan merawat alam adalah wujud akhlakul karimah.
Menanam pohon, dengan demikian, bukan hanya perbuatan fisik. Ia adalah tindakan spiritual dan pendidikan karakter yang berlangsung seumur hidup.
Merasakan manfaat pepohonan bisa saja dua atau tiga dekade setelahnya — bergantung jenis tanamannya. saat pepohonan itu sudah tumbuh besar. Ada yang memberi keteduhan, menjadi rumah burung, menyerap banjir, menahan erosi, dan mendinginkan udara sekitar. Pohon-pohon itu adalah saksi diam dari ketulusan penanamnya. Menanam pohon mengajarkan kepekaan, kesabaran, kepedulian, dan kesadaran bahwa setiap tindakan kecil hari ini akan berdampak besar di masa depan.
Gagasan ini selaras dengan tema nasional “Hijaukan Bumi, Pulihkan Alam”, yang sejatinya adalah panggilan untuk memperbaiki hubungan manusia dengan lingkungan. Dalam konteks pendidikan, ini berarti mengajarkan murid tentang akhlak ekologis — bagaimana memandang alam bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai amanah.
Dalam pembinaan generasi penerus, LDII mengembangkan 29 Karakter Luhur, yang salah satu pilar utamanya adalah Tri Sukses Generus: akhlakul karimah, alim-fakih, dan mandiri. Akhlakul karimah sering dimaknai dalam tiga dimensi: hubungan dengan Allah, hubungan dengan manusia, dan hubungan dengan diri sendiri. Namun ada satu dimensi yang sering terlupa— akhlak terhadap alam.
Akhlak terhadap alam tercermin dalam cara kita memperlakukan tanah, air, udara, hewan, dan tumbuhan. Menanam pohon adalah praktik paling mudah dan paling nyata dari akhlakul karimah terhadap lingkungan. Dalam satu tindakan itu terkandung kejujuran (merawat apa yang kita tanam), amanah (mengembalikan kesuburan bumi), kerja sama yang baik, kesabaran, kepedulian, dan ketulusan.
Semua karakter luhur itu dapat dipraktikkan dalam aktivitas sederhana: menggenggam tanah, merawat bibit, dan menunggu pohon tumbuh.
Guru memiliki peran strategis dalam proses ini. Guru bukan hanya penyampai pengetahuan, tetapi penanam nilai. Ketika guru mengajak murid keluar kelas untuk menanam pohon, sesungguhnya sedang mengajarkan hal-hal yang tidak tertulis dalam buku Pelajaran — merawat kehidupan, menghormati ciptaan Allah, mengambil peran dalam memulihkan bumi, selaras dengan semangat nasional tahun 2025.
Di era digital ketika anak-anak semakin jauh dari tanah, lumpur, dan aroma pepohonan, guru menjadi jembatan untuk mengembalikan hubungan mereka dengan alam. Menanam pohon adalah bentuk pembelajaran mindful, meaningful, dan joyful, pembelajaran yang meresap ke hati, bukan hanya berhenti di kepala.
Tidak ada teknologi yang dapat menggantikan sensasi air meresap ke tanah setelah disiram. Tidak ada kecerdasan buatan yang bisa menggantikan perasaan haru saat melihat tunas kecil muncul beberapa minggu kemudian. Itulah pendidikan karakter yang sejati.
Pohon yang kita tanam hari ini mungkin akan tumbuh lebih tinggi dari kita. Ia akan meneduhkan orang yang tidak kita kenal. Ia akan menjadi rumah bagi makhluk yang tidak pernah melihat kita. Ia akan tetap berdiri saat kita sudah tiada. Dan di situlah hakikatnya – karakter dan pohon sama-sama diwariskan.
Tema “Hijaukan Bumi, Pulihkan Alam” mengingatkan bahwa merawat bumi bukan hanya tugas aktivis lingkungan, tetapi tugas moral setiap manusia. Guru menanam karakter. Murid menanam pohon. Keduanya menanam masa depan Indonesia.
Bangsa yang baik dibangun oleh karakter yang baik, dan karakter yang baik tumbuh dari kebiasaan kecil yang konsisten, termasuk kebiasaan merawat alam.
*) Thonang Effendi adalah Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII











