Oleh: Faidzunal A. Abdillah, Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Terus terang, pertama kali mengkaji Surat an-Nisaa ayat 34, betapa gembiranya jiwa dan raga ini. Serasa melayang di awang – awang. Menerawang betapa sungguh enaknya kaum lelaki, menjadi suami. Saking gembiranya hanya mau berhenti di kalimat awal saja. Enggan meneruskan kelanjutan ayat secara keseluruhan, untuk kefahaman yang paripurna.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.” (QS An-Nisa:34)
Lelaki adalah pemimpin buat kaum wanita, yang harus dihormati, dilayani dan ditaati. Kayak raja, dituruti segala perintahnya dan penuh wibawa. Apa yang diingini, keturutan. Apa yang dimaui kesampaian. Sungguh bayangan yang menghentak dan menggejolak. Bayangan kehidupan rumah tangga yang penuh euphoria dan kesenangan. Senang dan senang terus. Enak dan eunaaak sekali rasanya. Dan pengin segera dan buru-buru memasukinya.
Situasi dan kondisi semakin menggairahkan, kala Sang Guru Bijak dengan lihainya mengurai dan menjelaskan. Bahkan dengan contoh – contohnya yang jenaka dan transparan. Penuh tawa dan canda, namun membuat tambah yakin, gamblang dan memabukkan. Misalnya, Sang Guru Bijak menjelaskan; orang yang berkeluarga itu enaknya cuma 10%. Seolah berhenti, tidak dilanjutkan kalimatnya. Jeda ini membuat penasaran dan bertanya – tanya, bagi para pendengarnya. Dan setiap kelapa bergejolak dengan bayangan interpretasinya masing-masing. Terutama yang jelek-jelek merespon angka 10%. Namun, itu semua sirna setelah Sang Guru Bijak meneruskan; sedangkan yang 90% itu euunaak sekali. Akhirnya, seluruh ruangan penuh tawa begitu mendengarnya.
Sudah begitu, arahan dan nasehat bab ketaatan juga kencang meluncur bak kereta cepat shinkansen, menjelaskan kalau wanita harus taat kepada suami, selain taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Suami adalah jembatan untuk masuk surga atau neraka bagi istri. Wuih, posisi yang strategis bukan? Kapan punya kesempatan dahsyat seperti itu. Diperkuat dengan dalil – dalil yang sungguh kuat, seperti;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ”
Dari Abu Huroiroh ra. dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Kalau seandainya aku boleh memerintah seseorang sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan perempuan untuk sujud kepada suaminya.” (Rowahu at-Tirmidzi, dan ia berkata, ini hadits hasan shohih).
Hadits ini jelas menambah pede dan besar kepala ini dan kepala semua orang yang berjenis kelamin lelaki. Dari ayatnya jelas, menempatkan lelaki pada kedudukan yang lebih tinggi sebagai pemimpin wanita. Dari sisi haditsnya juga jelas menggiring wanita untuk taat kepada suaminya. Kombinasi, pakem, patron dan pernyataan yang pas. Saling-silang, melengkapi. Ini semua factor ego, usia atau psikologi semata saya kurang faham, yang jelas begitulah yang kurasa waktu itu. Itu jejak rekam yang terpendam dalam – dalam dalam sanubari ini. Sebagai ungkapan jujur dan bersahaja, spontan dan apa adanya. Terpengaruh dan teracuni secara sistemik.
Namun, tak ada yang perlu disesali. Ayat di atas tidak salah, haditsnya juga tidak keliru. Penyampai, penasihatnya juga tidak kaprah. Dalam koridor fungsi dan dapukannya masing – masing, mereka telah menyampaikan amanat yang seharusnya disampaikan. Tidak disembunyikan. Hanya hasrat besar saya yang membelokkan itu semua. Hanya nafsu besar mendapatkan kesenangan yang mengangkangi fakta yang ada. Menutupi hal lain yang seharusnya saya ketahui. Perlahan tapi pasti, satu per satu fakta mengemuka dan terkuak seiring berjalannya waktu.
Suatu ketika, di komplek saya tinggal sepasang suami istri. Sedangkan mayoritas di situ adalah mahasiswa yang bujang. Ketika sang suami mencuci baju tiap pagi, seorang teman berkomentar. “Punya istri kok nyuci baju sendiri,” katanya.
“Memang kenapa? Apakah ada larangan suami mencuci baju?”, timpal sang suami.
“Enggak sih, aneh saja,” balik teman saya.
“Nanti kamu akan tahu, kalau kamu sudah berkeluarga,” katanya dengan bijak.
Dialog itu tersimpan lama dan dalam di lemari memori saya. Realitas yang saya pikir belum bisa saya pahami waktu itu. Selalu bergemuruh dan bergejolak di dada. Apa arti ini semua? Ini adalah kontra produktif, batin saya. Masak suami mencuci tiap hari, terus mengerjakan apa saja istrinya? Bayangan indah posisi enak suami itu seakan ternoda. Sedikit demi sedikit luntur, yang pada akhirnya menuntun saya untuk mereposisi beberapa pemahaman yang ada. Terlebih setelah mentadaburi hadits ini.
عَنِ الأَسْوَدِ، قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ ـ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ ـ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ.
Dari Aswad, dia bertanya kepada Aisyah; “Apa yang dikerjakan Nabi SAW ketika di rumahnya?” Aisyah menjawab; “ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesibukan membantu istrinya, maksudnya melayani keluarganya, dan jika tiba waktu sholat maka beliaupun pergi shalat.” (HR Al-Bukhari)
عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ
Dari Urwah, dia berkata kepada Aisyah, “ Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.” (HR Ibnu Hibban).
Dari sini, entah kebetulan atau terpaksa, pondasi – pondasi sebuah keluarga bahagia semakin tampak. Seiring bertambahnya ilmu dan kepahaman, gambarnya mulai terbentuk. Walau samar. Pilar – pilarnya semakin jelas. Dan alurnya semakin kentara. Lambat – laun obsesi raja semakin sirna. Pelan perlahan turun tahta, bersiap melayani dengan indah. Menyadari akan arti pentingnya sebuah kerja sama dalam membangun sebuah biduk rumah tangga. Semuanya terkumpul, semuanya tersaji sebagai bekal, sebelum menapakkan kaki ke jenjang rumah tangga yang sebenar-benarnya. Sebelum semua terlambat. Tanpa mengurangi hakikat menjadi lelaki pemimpin, dan bukan lelaki pemimpi.
Patut dicontoh. Keluarga harmonis n romantis.
Aamiin. Ditambah lagi kewajiban pria mensurgakan seisi rumah karena dia bisa dituntut anak2nya bila mereka di neraka. Ini azab yg tidak tertahankan oleh manusia
alhamdulilah tambah kefahaman pengetahuan yang barokah