Di Tarakan, aroma daun cemba menguar dari tungku dapur sederhana—menggugah kenangan pada kampung halaman yang jauh. Lewat seporsi nasu cemba, para perantau Bugis berbagi rasa, cerita, dan kehangatan Hari Raya.
Pagi masih dini ketika langkah kaki mulai berdetak di jalan kecil RT 1, Kelurahan Karang Harapan, Tarakan Barat. Embun belum benar-benar sirna, dan tanah masih basah menguarkan aroma yang akrab bagi siapa saja yang pernah rindu. Langit menggantung kelabu pucat, pelan-pelan diterobos cahaya fajar.
Dari balik rumah-rumah kayu, para pria berpeci dan bersarung melangkah tenang menuju Masjid Miftahul Jannah. Ibu-ibu menggandeng tangan anak-anak yang matanya masih setengah kantuk, tapi senyum mereka sudah lebih dulu terbit.
Hari itu, Masjid Miftahul Jannah bukan sekadar tempat salat Idul Adha. Ia menjadi pelabuhan rindu—rindu kepada keluarga yang jauh, kampung halaman yang lama ditinggalkan, dan ampunan yang dijanjikan lewat takbir yang menggetarkan langit.
Usai salat, halaman masjid berubah menjadi pusat kehidupan. Takbir masih mengalun pelan dari pengeras suara, mengiringi para panitia dari PAC LDII Karang Harapan yang bersiap di sekitar delapan sapi dan empat kambing. Hewan-hewan itu berdiri tenang, seolah tahu mereka bagian dari sesuatu yang agung.
Satu per satu direbahkan, dibacakan doa, disembelih dalam takbir. Darah mengalir ke tanah, tapi bukan duka yang lahir, melainkan keikhlasan. Di antara bau besi yang hangat dan hembusan asap pagi, tumbuh hening yang khidmat.
Tak jauh dari tempat penyembelihan, sekitar dua puluh meter ke arah barat, berdiri dapur-dapur darurat. Tungku dari batu bata menyala merah, dua panci besar berdiri tegak di atasnya. Di sanalah para ibu, dari yang sepuh hingga remaja bekerja dalam harmoni yang tak lahir dari komando, tapi dari kebersamaan yang terpatri.
Hari itu mereka memasak sesuatu yang lebih dari sekadar hidangan: Nasu Cemba, kuliner khas Bugis dari tanah Enrekang, Sulawesi Selatan. Ini bukan makanan sehari-hari. Ini makanan peristiwa. Ia hanya muncul dalam momentum agung—pernikahan, syukuran, atau seperti hari itu—Idul Adha.
“Nasu Cemba ini nggak dijual. Adanya cuma pas potong sapi, acara pengantin, atau adat Bugis lainnya,” ujar Hj. Ira, koordinator dapur sambil mengaduk santan di dalam panci besar.
Daging kurban dipotong-potong, direbus dalam air berisi daun cemba—daun asam yang membawa rasa kecut segar dan aroma tanah yang mengingatkan akan kampung halaman. Bumbunya bukan bumbu sembarangan: bawang, jahe, ketumbar, kemiri, pala, adas, kelapa sangrai, dan santan kental, dihaluskan, ditumis, lalu disiramkan ke daging.

Terakhir, daun cemba dimasukkan. Di sanalah letak rahasianya. Sehelai dua helai daun itu bisa menghidupkan memori yang lama tertimbun: suara ibu di Enrekang, bau dapur kayu, dan hari-hari ketika kita masih kecil dan tak tahu apa-apa selain hangatnya pelukan rumah.
“Target kami hari ini masak untuk 500 porsi. Bukan cuma untuk warga RT, tapi siapa saja yang datang, silakan makan,” lanjutnya.
Sementara para bapak membagikan daging dalam kantong-kantong plastik, para ibu menata nasi, sambal, dan Nasu Cemba di meja panjang. Anak-anak duduk bersila, tertawa-tawa sambil mengipas asap dari tungku. Semua terlibat. Semua bersatu dalam rasa.
“Kalau kurban itu lambang keikhlasan,” ujar H. Aries, Pembina PAC LDII Karang Harapan. “Maka Nasu Cemba ini lambang cinta. Cinta itu ditanam lewat gotong royong, disiram oleh pengorbanan, dan dipanen lewat makanan yang kita nikmati bersama,” jelasnya.
Selain titik utama di Masjid Miftahul Jannah, titik kedua pelaksanaan kurban juga digelar di halaman depan STM Karang Harapan, dengan tujuh ekor sapi dan empat kambing disembelih oleh panitia PAC LDII.
Sebanyak 500 kupon daging dibagikan. Beberapa hewan kurban merupakan sumbangan pribadi, sebagian lagi hasil urunan warga. “Yang datang tanpa kupon pun tetap kami layani. Prinsipnya, sebanyak mungkin yang mendapat manfaat,” kata H. Aries.
Siang menjelang. Langit Tarakan kini cerah sempurna. Aroma Nasu Cemba merayap lembut dari dapur-dapur darurat, menyelinap ke celah-celah rumah, masuk ke hati siapa pun yang menghirupnya. Hari itu, bukan hanya perut yang kenyang. Tapi juga jiwa yang pulang.(Fitri/LINES)