Oleh: Thonang Effendi*
Di sebuah rumah sederhana, keluarga kecil itu membiasakan sebuah tradisi: membaca buku setiap malam setelah salat Isya seminggu 2 kali pada saat libur pengajian. Sang ayah membacakan buku cerita Islami, kisah para nabi, atau buku sejarah dunia. Sang ibu menyimak sambil sesekali menyelipkan penjelasan. Anak-anak mendengarkan dengan mata berbinar. Sesekali muncul pertanyaan, lalu berdiskusi, dan diakhiri dengan pelajaran moral yang bisa mereka petik. Di keluarga itu, buku bukan sekadar benda mati, tapi jendela kehidupan.
Tradisi seperti ini barangkali mulai langka. Tapi justru di sinilah pentingnya kita mengingatkan kembali. Terlebih setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Sebuah momen reflektif untuk menakar kembali, sejauh mana kita memosisikan buku dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Membaca buku sejatinya adalah aktivitas intelektual sekaligus spiritual. Lewat lembar demi lembar, kita bisa menjelajahi tempat-tempat jauh, memahami budaya lain, hingga mengenal sudut pandang yang berbeda. Buku mengajarkan kita untuk tidak gegabah dalam mengambil kesimpulan, untuk berpikir lebih dalam, lebih matang, dan lebih bijak. Informasi yang tersimpan dalam ingatan melalui proses membaca membentuk pola pikir yang lebih reflektif dan toleran.
Namun, tantangan kita hari ini tidak kecil. Di tengah arus informasi instan yang berseliweran di gawai dan media sosial, membaca buku perlahan terpinggirkan. Kita lebih mudah tergoda oleh narasi pendek, tajam, dan sering kali menyesatkan, fenomena yang dikenal sebagai post-truth. Kita tak lagi mencari kebenaran, tapi hanya membenarkan apa yang kita yakini. Akibatnya, ruang dialog menyempit, dan empati menurun.
Dalam konteks inilah, membaca buku menjadi lebih penting dari sebelumnya. Ia tidak hanya menyuplai pengetahuan, tetapi juga mengasah kearifan. Membaca mengajarkan kita memahami orang lain, menghargai perbedaan, dan bersikap lebih manusiawi. Orang yang rajin membaca biasanya memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap provokasi, karena ia terbiasa menimbang dengan akal sehat.
Namun, kedalaman dan keluasan ilmu saja tidak cukup. Seperti dikatakan oleh para ulama, ilmu tanpa adab ibarat api tanpa cahaya. Di sinilah pentingnya mengiringi budaya membaca dengan keluhuran akhlak. Membaca harus dituntun oleh niat baik dan disertai dengan sikap rendah hati dalam menerima perbedaan.
Dalam ajaran Islam, wahyu pertama yang diturunkan adalah “Iqra”, bacalah. Ini bukan sekadar perintah membaca teks, tapi juga ajakan untuk membaca realitas, membaca diri, membaca zaman. Membaca menjadi jalan pembuka untuk mengenali Allah, memahami sesama, dan memperbaiki diri. Jika digabungkan dengan adab, maka membaca akan melahirkan pribadi yang bijaksana.
Nilai-nilai ini juga tercermin dalam karakter luhur yang dikembangkan oleh LDII. Salah satu pilar dari 29 karakter luhur yang diajarkan kepada generasi muda adalah alim fakih, yaitu memiliki ilmu yang luas dan mendalam, namun juga diiringi dengan akhlakul karimah dan sikap mandiri. Orang yang membaca bukan hanya menjadi tahu, tapi juga menjadi lebih tangguh dan lebih tahu diri.
Akhirnya, buku adalah salah satu teman terbaik manusia dalam kesunyian, guru yang tak pernah lelah mengulang pelajaran, dan cermin yang jujur saat kita bercermin pada isi pikirannya. Di tengah dunia yang gaduh, buku memberi ketenangan. Di tengah dunia yang serba instan, buku mengajarkan kesabaran.
Maka mari rayakan Hari Buku Nasional dengan semangat baru. Kita mulai dari rumah, dari satu halaman setiap hari, dari satu percakapan hangat tentang isi buku, lalu menjadikannya kebiasaan. Karena dari buku, kearifan pikiran tumbuh, dan dari sana, kemuliaan adab bermula.
Thonang Effendi
*Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Bagus dan bener sekali ….
Proses emang tak khianati hasil ..yg tekun lembar dari lembar tuk mengisi wawasan emang beda dengan yg instan2…
Menginspirasi..
Membaca dan membaca.. Jaga kesehatan otak, menjauhkan dari pikun 😁😁
Bagus sekali Bisa di contohkan dengan teladan Rosul yang baik sekali
Inspiratif untuk bisa di “Tularkan” pada generasi berikutnya
Barokalloh
Cerita nabi dan para Rosul sambung bersambung di sebuah keluarga, insya Allah barokah. Yg tua menjadi tauladan bagi yg generasi mudanya secara langsung… Hal yg perlu dijalankan terus
Luar biasa …membaca memang benar jendela dunia, perlu dicontoh dan diteladani
Bagus smoga bermafaat dan bisa menjadi jurnalis yang profesional dan berkarakater.