Oleh: Thonang Effendi*)
Dalam kehidupan, manusia senantiasa mencari keseimbangan antara akal, raga, dan jiwa. Dalam falsafah Jawa, pencarian ini disebut sebagai nggayuh marang kasampurnan—mencapai kesempurnaan hidup yang sejati. Kesempurnaan ini bukan sekadar pencapaian material, tetapi harmoni yang membawa seseorang menuju husnul khotimah, akhir hidup yang baik bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.
Falsafah Aku Wong Urip menjadi dasar pemahaman ini. Aku (akal), wong (raga), dan urip (jiwa) adalah tiga pilar kehidupan yang harus dioptimalkan. Ki Ageng Suryomentaram memperkaya pemikiran ini melalui prinsip 6 Sa: sabutuhê (sebutuhnya), saperlunê (seperlunya), sacukupé (secukupnya), sabeneré (sebenarnya), samesthiné (semestinya), dan sakepenaké (sepantasnya). Falsafah ini mengajarkan manusia untuk hidup dengan kesadaran, keseimbangan, dan keikhlasan.
Konsep-konsep ini mencapai puncaknya dalam kehidupan dewasa yang matang, di mana seseorang diharapkan menjalankan peran tutur (memberi nasihat), wuwur (memberi bantuan finansial), dan sembur (mendoakan). Ketiga peran ini menjadi landasan menuju kasampurnan, mengintegrasikan ilmu, kemandirian, dan spiritualitas.
Aku Wong Urip dan Prinsip 6 Sa: Fondasi Kehidupan yang Harmonis
Falsafah Aku Wong Urip menekankan bahwa hidup adalah integrasi antara akal, raga, dan jiwa. Akal menjadi pedoman berpikir benar (sabeneré) dan bertindak sesuai kebenaran (samesthiné). Raga adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan fisik secara sabutuhê, sacukupé, dan saperluné, tanpa berlebihan atau kekurangan. Sementara jiwa membutuhkan sakepenaké, yaitu penerimaan yang tulus terhadap keadaan hidup.
Prinsip 6 Sa memberikan kerangka hidup yang sederhana namun bermakna. Dengan sabutuhê, sacukupé, dan saperluné, seseorang belajar membedakan kebutuhan esensial dari keinginan yang berlebihan. Sabeneré dan samesthiné mengarahkan manusia untuk bertindak sesuai kebenaran dan tanggung jawab. Sementara sakepenaké menanamkan ketenangan batin yang menjadi fondasi kebijaksanaan.
Konsep ini sejalan dengan 6 Thobiat Luhur komponen dari 29 karakter luhur yang dikembangkan LDII, khususnya dalam jujur, amanah, dan mujhid-muzhid. Jujur berarti berkata apa adanya dan berperilaku sesuai kebenaran (sabeneré). Amanah mengajarkan kepercayaan dan tanggung jawab dalam menyampaikan titipan sebagaimana mestinya (samesthiné). Sementara mujhid-muzhid mengajarkan kerja keras dan hemat (kerjo mempeng lan tirakat banter), bekerja dengan tekun untuk memperoleh rezeki halal. Prinsip kerja bener, kurup dan janji dalam 29 karakter luhur LDII juga selaras dengan ini, menciptakan kenyamanan bagi pekerja dan pemberi kerja (sakepenaké).
Ketika seseorang mampu hidup jujur, amanah, dan menerapkan mujhid-muzhid, maka ia akan mencapai kehidupan yang mapan, nggayuh marang kasampurnan.
Dalam fase hidup dewasa yang matang, falsafah Jawa menuntut seseorang untuk menjalankan tiga peran penting:
- Tutur (memberikan nasihat): Nasihat yang baik hanya dapat diberikan oleh mereka yang memiliki ilmu dan perilaku luhur. Akal yang sehat, yang terarah pada sabeneré dan samesthiné, menjadi landasan untuk menjalankan tutur dengan bijak.
- Wuwur (memberikan bantuan finansial): Untuk membantu orang lain secara finansial, diperlukan kemandirian ekonomi. Prinsip sabutuhê, sacukupé, dan saperluné mengajarkan bagaimana membangun keberdayaan finansial tanpa mengorbankan keseimbangan hidup.
- Sembur (mendoakan): Doa yang tulus lahir dari jiwa yang dekat dengan Sang Pencipta. Sakepenaké mengajarkan bagaimana menerima hidup dengan ikhlas, sehingga doa menjadi bentuk kasih sayang yang murni dan tanpa pamrih.
Ketiga peran ini tidak hanya menandai kematangan pribadi tetapi juga menjadi wujud kontribusi nyata bagi keluarga dan masyarakat. Dengan menjalankan tutur, wuwur dan sembur, seseorang menanam benih kebaikan yang akan terus tumbuh bahkan setelah ia tiada.
Husnul Khotimah: Puncak Perjalanan Hidup
Hidup yang harmonis, yang dijalani dengan prinsip Aku Wong Urip, 6 Sa, dan Tutur-Wuwur-Sembur, membawa seseorang menuju husnul khotimah—akhir hidup yang baik. Husnul khotimah bukan hanya tentang meninggalkan dunia dalam keadaan damai, tetapi juga meninggalkan warisan kebajikan yang dikenang oleh generasi berikutnya.
Sebagaimana Ki Ageng Suryomentaram pernah berkata, “Kebahagiaan sejati lahir dari kesadaran diri dan penerimaan akan hidup apa adanya.” Dalam konteks ini, kasampurnan bukanlah kesempurnaan material atau pengakuan duniawi, tetapi ketenangan jiwa yang didapat dari harmoni antara akal, raga, dan jiwa.
Penelitian oleh Pusat Kajian Kebudayaan UGM menyebutkan bahwa penerapan nilai-nilai tradisional seperti Tutur-Wuwur-Sembur dapat meningkatkan kohesi sosial di komunitas pedesaan dan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa falsafah Jawa tidak hanya relevan secara personal tetapi juga memiliki dampak kolektif yang luas.
Pada akhirnya, hidup adalah perjalanan menuju keseimbangan. Dengan menjalankan prinsip Aku Wong Urip, 6 Sa, dan Tutur-Wuwur-Sembur, kita tidak hanya meraih harmoni dalam kehidupan, tetapi juga meninggalkan warisan kebajikan bagi generasi setelah kita. Husnul khotimah bukan hanya tentang bagaimana kita meninggalkan dunia, tetapi tentang bagaimana kita hidup dan memberikan manfaat selama berada di dunia.
Referensi
- Universitas Gadjah Mada. “Penerimaan Hidup dan Kesejahteraan Psikologis.”
- Bank Indonesia. “Laporan Keuangan dan Kesejahteraan Masyarakat.”
- Pusat Kajian Kebudayaan UGM. “Nilai Tradisional dan Kohesi Sosial.”
- Ki Ageng Suryomentaram. Falsafah 6 Sa: Harmoni Kehidupan.
Penulis:
Thonang Effendi
Ketua Departemen Pendidikan Umum dan Pelatihan DPP LDII
Literasi yang bagus, menjadikan wawasan baru tentang filosofi kehidupan
Pencerahan yang dalam… Semoga yg baca artikel ini bisa wujudkan hakikat hidup yg sesungguhnya.
Terimakasih mas… Alhamdulillah jazaa kalloohu khoiro.
Inspiratif..
menambah wawasan
Tobiat luhur bersumber dari para leluhur bijak tersosialisasikan lewat tulisan ini. Ditopang dgn dasar2 keimanan dan keislaman yg kuat, insya Allah menjadi model pembinaan generasi penerus Indonesia.
Karakter luhur yg bersumber dari leluhur ditambah dgn dasar2 keislaman, keimanan, dan ketaqwaan bisa melahirkan generasi penerus Indonesia yang tangguh. Tulisan ini menjadi pencerah pentingnya menggali dan mensosialisasikan karakter luhur. Alhamdulillah jazakallahu khoiro.